Liputan6.com, Jakarta - Jelang tutup tahun 2021, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengeluarkan peringatkan bahwa dua varian SARS-CoV-2 yakni Omicron dan Delta yang kini tengah beredar, bisa menimbulkan "tsunami COVID-19". Kondisi ini juga diprediksi akan memberi tekanan besar pada sistem kesehatan nasional.
WHO mengatakan pada Rabu, 29 Desember 2021 bahwa dua variant of concern Delta dan Omicron merupakan "ancaman kembar" yang bisa membuat kasus baru meningkat. Hal ini mengarah pada lonjakan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit bahkan kematian.
Kasus global baru meningkat 11 persen pekan lalu. Amerika Serikat dan Prancis mencatat rekor jumlah kasus harian pada Rabu, 29 Desember 2021.
Advertisement
"Saya sangat prihatin bahwa Omicron--yang lebih mudah menular--beredar pada saat yang sama dengan Delta, dapat mengarah pada tsunami kasus," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat konferensi pers, dilansir Straitstimes.
"Ini sedang dan akan terus memberikan tekanan besar pada petugas kesehatan yang kelelahan dan sistem kesehatan di ambang kehancuran. Sekali lagi mengganggu kehidupan dan mata pencaharian," lanjut Tedros.
Baca Juga
Tekanan pada sistem kesehatan tak hanya terkait kasus baru COVID-19 melainkan juga karena banyak tenaga kesehatan yang terinfeksi COVID-19.
Keprihatinan akan ancaman kembar dari varian Omicron dan Delta pertama kali mencuat di India. Ancaman kembar itu disebut sebagai Delmicron dan sempat menimbulkan kesimpangsiuran berita di sana.
Berawal dari beberapa media India mengutip pernyataan salah seorang anggota gugus tugas COVID-19 Maharashtra, Dr Shashank Joshi.
"Delmicron, mahkota (spike) ganda dari Delta dan Omicron, membuat tsunami mini kasus COVID-19 di Eropa dan Amerika Serikat."
Pernyataan Joshi itu sempat keliru diartikan sebagai munculnya varian baru COVID-19 yang dinamai Delmicron. Belakangan diketahui bahwa Joshi merujuk pada situasi ketika varian Delta dan Omicron ditemukan pada pasien COVID-19 yang sama atau ketika kedua varian tersebut menyebar cepat di wilayah yang sama.
Omicron di Eropa dan AS
Pernyataan Tedros mengenai ancaman kombinasi Delta dan Omicron keluar seiring meningkatnya kasus baru COVID-19 di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.
Mengutip BBC, Prancis dilaporkan sebagai negara Eropa dengan kasus harian tertinggi dalam dua hari berturut-turut, mencapai 208.000 kasus.
Sementara di AS, data Johns Hopkins menunjukkan rata-rata 265.427 kasus per hari selama sepekan terakhir.
Varian Omicron telah memicu ribuan anak-anak di AS menjalani rawat inap. Ini terjadi hanya dalam beberapa minggu saja.
Kondisi tersebut meningkatkan kekhawatiran baru mengingat masih banyaknya populasi di bawah usia 18 yang belum atau tidak vaksinasi.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mencatat bahwa jumlah rata-rata dalam tujuh hari yakni antara 21 sampai 27 Desember 2021, anak-anak yang harus rawat inap karena COVID-19 dengan Omicron naik lebih dari 58 persen secara nasional. Totalnya menjadi 334 jiwa.
Mengikuti AS dan Prancis, ada Denmark, Portugal, Inggris, dan Australia yang juga melaporkan lonjakan kasus.
Polandia melaporkan 794 kematian terkait COVID-19 pada Rabu, 29 Desember 2021. Angka tersebut merupakan angka tertinggi pada gelombang keempat pandemi COVID-19 di Polandia. Lebih dari 3/4 kasus kematian tersebut adalah individu yang belum divaksinasi.
Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO mengatakan Omicron terlihat lebih mudah menular, memiliki masa inkubasi yang lebih pendek, dan menyebabkan penyakit ringan. Hal ini didasarkan pada populasi sebagian besar anak muda yang telah terinfeksi, jadi mudah pulih.
Karena gelombang Omicron belum sepenuhnya terbentuk pada populasi yang lebih luas, Ryan mengatakan, "Saya sedikit gugup membuat prediksi positif sampai kita melihat seberapa baik perlindungan vaksin akan bekerja pada populasi yang lebih tua dan lebih rentan."
"Saya pikir sangat penting selama beberapa minggu mendatang bahwa kita terus menekan transmisi kedua varian seminimal mungkin," kata Mike.
Advertisement
Omicron di Indonesia
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per Rabu, 29 Desember 2021, total kasus positif varian Omicron di Indonesia sebanyak 68 orang.
Terkait hal tersebut, Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan bahwa ada sebanyak 16 pasien yang mengalami gejala ringan.
"Dari 68 kasus yang kita deteksi, ini sebenarnya hampir sebagian besar itu tidak bergejala. Kalau kita lihat 52 itu tidak bergejala sama sekali, sisanya itu bergejala tapi sangat-sangat ringan," ujar Nadia dalam konferensi pers Menjaga Pandemi Tetap Landai Pasca Nataru, Kamis (30/12/2021).
Nadia menjelaskan, beberapa dari pasien positif Omicron ada yang dirawat di RSPI Sulianti Saroso. Hal tersebut pun karena RSPI Sulianti Saroso memiliki proses pengendalian yang lebih baik.
Meski kebanyakan dari pasien yang positif Omicron tidak bergejala, semua pasien yang dinyatakan positif saat ini tetap melakukan isolasi di rumah sakit.
"Walaupun tidak bergejala, tetap dilakukan isolasinya di rumah sakit," kata Nadia.
Hingga saat ini, Nadia mengungkapkan, pasien Omicron yang dirawat di RSPI Sulianti Saroso ada sebanyak sembilan orang. Sedangkan, sisanya dirawat di RSDC Wisma Atlet.
Indonesia Antisipasi Ancaman Tsunami COVID-19
Siti Nadia yang juga Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menanggapi prediksi ancaman kembar varian Omicron dan Delta.
Menurutnya, antisipasi yang dapat dilakukan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan upaya-upaya pencegahan yang selama ini telah diterapkan.
“Apapun variannya, protokol kesehatan (prokes), batasi mobilitas, 3T (treatment, tracing, testing) dan segera vaksinasi,” ujar Nadia kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks pada Jumat (31/12/2021).
Selain itu, upaya pencegahan juga perlu dilakukan di hilir. Mulai dari mempersiapkan fasilitas kesehatan (faskes) hingga Sumber Daya Manusia (SDM).
“Di hilir kita siapkan faskes, dengan obat, ventilator oksigen, dan SDM.”
Upaya mencegah Omicron masuk RI dengan melakukan penjagaan di pintu-pintu perbatasan kedatangan internasional dan mengoptimalkan karantina. Apalagi kasus Omicron ditemukan lebih banyak pada pelaku perjalanan dari luar negeri, baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA).
Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas COVID-19, Alexander Ginting menegaskan, Indonesia harus tetap waspada terhadap varian baru COVID-19, termasuk Omicron yang juga menyebarluas bersamaan dengan Delta.
"Kita memang tidak bisa menyalahkan bahwa bagaimanapun juga virus varian baru ini (Omicron) bisa masuk. Kendati kita sudah pengalaman dengan varian Delta di bulan Juni, Juli, Agustus 2021, tetapi karena virus ini juga varian baru, tentu kita harus benar-benar menjaganya dan mewaspadainya," tegas Alex saat memberikan keterangan pers.
"Jangan sampai mengulangi kejadian seperti di bulan Juli (saat dilanda varian Delta). Oleh karena itu, perlu kerja sama dari seluruh masyarakat."
Upaya kerja sama menghadapi varian baru COVID-19, menurut Alexander Ginting dapat membuat tugas pokok dalam menjaga dan mengamankan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 1 dan Level 2 maksimal.
"Sebagaimana kita ketahui bahwa pada Juli yang lalu, kita berada di PPKM Darurat, yang mana kasus COVID-19 di atas 500.000-an. Di samping kasus harian yang begitu tinggi, diikuti juga dengan angka kematian dan rumah sakit yang tinggi," terangnya.
"Dalam beberapa minggu dan bulan ini bisa kita lalui dan sekarang kita berada di PPKM Level 1 dan 2, termasuk di Jawa Bali maupun luar Jawa dan Bali."
Alex kembali menekankan, upaya Pemerintah yang telah dilaksanakan adalah menjaga pintu masuk kedatangan di bandara-bandara, pelabuhan laut, termasuk Pos Perbatasan Darat. Salah satu penjagaan tersebut, yakni dengan melaksanakan fungsi karantina.
"Karantina ini penting. Dengan karantina, kita bisa mengamati, apakah seseorang yang tadinya tidak bergejala menjadi sakit atau tidak. Atau bagi mereka yang bergejala, apakah mereka menjadi positif atau tidak," jelas Alex.
"Inilah gunanya karantina. Karantina ini mengumpulkan mereka yang datang dari negara terjangkit atau dari negara luar untuk diamati. Kemudian dilihat perkembangannya, apakah dia menjadi sakit atau (hasil) laboratoriumnya positif."
Advertisement
Indonesia Siagakan Fasilitas Kesehatan
Belajar dari lonjakan kasus COVID-19 ketika varian Delta merebak, kali ini Pemerintah pun menyiagakan fasilitas kesehatan, terutama rumah sakit rujukan sebagai antisipasi eskalasi kasus Omicron.
"Langkah hadapi Omicron, salah satunya, penyiapan fasilitas kesehatan dalam menghadapi lonjakan kasus. Kapasitas RS Rujukan COVID-19 kita saat ini (data per 29 Desember 2021) ada 1.011 RS dari 3.114 RS di Indonesia," papar Kasubdit Pelayanan Gawat Darurat Terpadu Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan RI Asral Hasan dalam webinar Kesiapsiagaan Faskes dalam Menghadapi Varian Omicron, Kamis (30/12/2021).
"Seluruh RS Rujukan siap menerima pasien COVID-19 dengan jumlah total tempat tidur COVID-19 sekarang 82.168 tempat tidur. Ketika terjadi lonjakan, bisa sampai 120.000 tempat tidur yang dibutuhkan. Tentunya, RS juga mempunyai kesiapan mengkonversi tempat tidur yang ada menjadi tempat tidur COVID-19."
Keterpakaian tempat tidur COVID (Bed Occupancy Rate/BOR) di seluruh Indonesia per 29 Desember 2021 rata-rata di bawah 6 persen. Paling tinggi di DKI Jakarta 6 persen. BOR isolasi masih rendah sekitar 2,4 persen dan ICU di angka 83,34 persen.
"Angka ini menurun, tapi kewaspadaan kita dan juga rumah sakit menghadapi COVID-19 tetap diperlukan," lanjut Asral.
Asral menjelaskan, strategi rumah sakit menghadapi lonjakan Omicron dengan meningkatkan kapasitas ruang perawatan COVID-19.
"Ketika BOR COVID-19 sudah lebih 80 persen (zona merah), maka RS mengkonversi minimal 40 persen dari tempat tidur rawat inap untuk perawatan intensif COVID-19. Intensif ini berarti ada peralatan pedukung pernapasan, ventilator, elektrokardiogram (EKG), dan lainnya," jelasnya.
"Kalau BOR 60 hingga 80 persen (zona kuning), maka konversi minimal 30 persen tempat tidur untuk COVID-19. Yang aman itu BOR di bawah 60 persen (zona hijau). Konversinya minimal 20 persen. Kita jaga di kisaran ini."
Tak hanya kesiapan faskes, obat-obatan, dan tenaga kesehatan cadangan (relawan), hingga oksigen sudah disiapkan. Bahkan kini rumah sakit, terutama Rujukan COVID-19 dilengkapi oksigen generator, sehingga tidak bergantung pada oksigen tabung.
Pemerintah juga sudah menerapkan langkah menghadapi varian Omicron, antara lain, pembatasan dan penambahan durasi karantina sampai 10 hari, kecuali yang dari negara negara terjangkit Omicron jadi 14 hari, percepatan vaksinasi, dan penguatan protokol aktivitas.
"Kemudian penguatan 3T (testing, tracing, treatment), termasuk kesiapan lonjakan kasus, memperkuat genom sekuensing, pemanfaatan teknologi digital dalam 3T dan vaksinasi, serta protokol kesehatan," Asral menerangkan.
Epidemiolog: Indonesia Tidak Boleh Lengah
Pakar epidemiologi dari Grifftih University, Australia, Dicky Budiman mengingatkan agar Indonesia tidak lengah menghadapi Delta serta kedatangan Omicron. Keduanya sama-sama berpotensi membuat layanan kesehatan kolaps. Dicky memprediksi, lonjakan kasus akan terjadi pada akhir Februari atau awal Maret 2022.
"Harus disadari jelang 2022, kombinasi maut Delta dan Omicron," kata pakar epidemiologi dari Grifftih University, Australia, Dicky Budiman.
Seperti diketahui Delta dan Omicron sama-sama variant of concern atau varian dengan kewaspadaan tertinggi.
"Setiap varian yang masuk variant of concern, baik itu Delta maupun Omicron, masing-masing punya kelebihan yang punya risiko alami perburukan," kata Dicky lewat pesan suara ke Health-Liputan6.com.
Dicky juga meningatkan bahwa baik Delta dan Omicron sama-sama berbahaya. Ia meminta masyarakat tidak lengah atau abai meski ada banyak anggapan kalau Omicron tidak berbahaya atau dianggap hanya menimbulkan gejala ringan.
"Gejala ringan harus dipahami bahwa itu karena orang yang terkena sudah divaksinasi," kata Dicky.
Perlu diingat juga bahwa pada mereka yang terpapar Delta maupun Omicron ada sekelompok orang yang masuk rumah sakit, masuk ICU, dan bahkan menyebabkan kematian.
"Proporsi relatif sama yakni yang masuk ICU sekitar lima persen dan angka kematian sekitar 1 persen," katanya.
Maka perlu dilakukan upaya menekan potensi penularan COVID-19. Pertama pada orang yang ke luar negeri hanya untuk urusan esensial saja seperti terkait dengan bisnis, pekerjaan, diplomasi, terkait ada keluarga yang sakit.
Lalu, untuk yang dalam negeri menurut Dicky tidak perlu menerapkan PPKM level 3 atau 4. Hanya saja pastikan orang-orang yang melakukan mobiltas sudah divaksinasi lengkap, hasil antigen negatif, dan tidak kontak erat dengan orang terpapar COVID-19.
Lalu, bagi lansia dan anak yang belum mendapatkan vaksinasi lengkap sebaiknya tidak usah bepergian.
"Untuk yang belum lakukan perjalanan jangan pergi. Jika mau pergi dalam wilayah saja, yang dekat-dekat saja. Pergi ke tempat outdoor," sarannya.
Pastikan juga saat pergi memakai masker terbaik yakni N95 atau serupa. Serta penerapan protokol kesehatan lainnya.
"Selain itu, perlu ada aspek monitoring."
Advertisement
WHO Tekankan Vaksinasi
WHO merefleksikan perang melawan COVID-19 pada 2021 dan berharap tahun depan tahap akut pandemi akan berakhir. Namun, ini bertumpu pada kesetaraan vaksin yang lebih besar.
WHO menargetkan 40 persen populasi di setiap negara divaksinasi penuh pada akhir 2021, dan memiliki target 70 persen cakupan pada pertengahan 2022.
Tedros mengumumkan bahwa 92 dari 194 negara anggota WHO akan meleset dari target 40 persen.
"Ini karena kombinasi pasokan terbatas ke negara-negara berpenghasilan rendah hampir sepanjang tahun, dan kemudian vaksin berikutnya hampir kadaluarsa dan tanpa bagian-bagian penting seperti jarum suntik," katanya.
“Ini bukan hanya rasa malu secara moral, itu merenggut nyawa dan memberi virus kesempatan untuk beredar tanpa terkendali dan bermutasi. Di tahun depan, saya menyerukan para pemimpin pemerintah dan industri untuk membicarakan kesetaraan vaksin."