Liputan6.com, Jakarta - Bukan hanya Delta varian yang menyebabkan seseorang sakit COVID-19, kini Omicron sudah terdeteksi di banyak negara. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pun memeringatkan bahwa COVID-19 varian Delta dan Omicron dapat menjadi ancaman kembar yang mendorong lonjakan kasus ke rekor tertinggi.
Di Amerika Serikat misalnya, Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) melaporkan 59 persen kasus COVID-19 di sana adalah Omicron per Selasa, 28 Desember 2021. Di Indonesia sendiri, kasus Omicron yang terdeteksi Kementerian Kesehatan RI di angka 68.
Baca Juga
Meski begitu, Indonesia tidak boleh lengah menghadapi Delta serta kedatangan Omicron. Keduanya sama-sama berpotensi membuat layanan kesehatan kolaps.
Advertisement
"Harus disadari jelang 2022, kombinasi maut Delta dan Omicron," kata pakar epidemiologi dari Grifftih University, Australia, Dicky Budiman.
Bila melihat jenis varian, WHO mengkategorikan Delta dan Omicron sama-sama variant of concern atau varian dengan kewaspadaan tertinggi.
"Setiap varian yang masuk variant of concern, baik itu Delta maupun Omicron, masing-masing punya kelebihan yang punya risiko alami perburukan," kata Dicky lewat pesan suara ke Health-Liputan6.com.
Â
Jangan Remehkan Omicron
Dicky juga meningatkan bahwa baik Delta dan Omicron sama-sama berbahaya. Ia meminta masyarakat tidak boleh lengah atau abai meski ada banyak anggapan kalau Omicron tidak berbahaya atau dianggap hanya menimbulkan gejala ringan.
"Gejala ringan harus dipahami bahwa itu karena orang yang terkena sudah divaksinasi," kata Dicky.
Perlu diingat juga bahwa pada mereka yang terpapar Delta maupun Omicron ada sekelompok orang yang masuk rumah sakit, masuk ICU, dan bahkan menyebabkan kematian.
"Proporsi relatif sama yakni yang masuk ICU sekitar lima persen dan angka kematian sekitar 1 persen," katanya.
Maka perlu dilakukan upaya menekan potensi penularan COVID-19. Pertama pada orang yang ke luar negeri hanya untuk urusan esensial saja seperti terkait dengan bisnis, pekerjaan, diplomasi, terkait ada keluarga yang sakit.
Lalu, untuk yang dalam negeri menurut Dicky tidak perlu menerapkan PPKM level 3 atau 4. Hanya saja pastikan orang-orang yang melakukan mobiltas sudah divaksinasi lengkap, hasil antigen negatif, dan tidak kontak erat dengan orang terpapar COVID-19.
Lalu, bagi lansia dan anak yang belum mendapatkan vaksinasi lengkap sebaiknya tidak usah bepergian.
"Untuk yang belum lakukan perjalanan jangan pergi. Jika mau pergi dalam wilayah saja, yang dekat-dekat saja. Pergi ke tempat outdoor," sarannya.
Pastikan juga saat pergi memakai masker terbaik yakni N95atau serupa. Serta penerapan protokol kesehatan lainnya.
"Selain itu, perlu ada aspek monitoring."
Â
Advertisement
Potensi Ledakan Kasus COVID-19: Akhir Februari
Mobilitas yang meningkat secara logis akan meningkatkan kasus COVID-19. Hal ini berlaku di semua negara seperti konser musik di Arab Saudi yang meningkatkan kasus.
"Itu kan hukum biologi, mau itu Delta atau Omicron," katanya.
Melihat pergerakan yang terjadi di Indonesia saat libur Nataru, Dicky memprediksi efek terhadap peningkatan kasus tidak terjadi dengan segera.
"Cakupan vaksinasi yang banyak, status imunitas meningkat membuat dampak dari hasil pergerakan tidak secepat pada gelombang kedua COVID-19 pertengahan tahun kemarin," kata Dicky.
"Akhir Februari atau awal Maret mulai terlihat (efek pergerakan dari liburan Nataru)," katanya.
Infografis Ancaman Kembar Varian Omicron dan Delta, Picu Tsunami Covid-19 di 2022?
Advertisement