Liputan6.com, Jakarta Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas terus menuai pro dan kontra. Di satu sisi, tentunya karena semakin meningkatkan kasus COVID-19, terutama varian Omicron. Namun segi lain, PTM ini dianggap bisa mengejar ketertinggalan pelajaran akibat pembelajaran daring yang berkepanjangan.
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd - DITJEN PAUD, DIKDAS dan DIKMEN, Direktur Sekolah Dasar mengakui, PTM ini memang jadi masalah yang kompleks. Namun menurutnya, pemerintah sendiri sudah menyiapkan regulasi terkait protokol kesehatan yang cukup ketat.
Baca Juga
Meskipun membuat sebagian orang tua khawatir terkait dengan aktivitas belajar tatap muka di sekolah karena para siswa masih menghadapi risiko terpapar virus akibat interaksi secara fisik. Tapi ada sejumlah aturan juga yang perlu ditetapkan sekolah. Sehingga jika kemudian hari yang terkena COVID-19 sudah mencapai di atas 5%, maka PTM ditutup.
Advertisement
“Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan hak perlindungan kepada peserta didik, agar mereka sehat dan selamat. Prioritas sehat dan selamat untuk para peserta didik PTM Terbatas 100%, ingat terbatas ya, apalagi di sekolah yang berada pada zona level 3, itu masih harus bergiliran masuk sekolah atau blended learning,” tegas dalam konferensi pers bertajuk PTM di Tengah Kasus Omicron yang Beranjak Naik, Bagaimana Orang Tua Menyikapinya?”, ditulis Minggu (30/1/2022).
Menurut Sri, secara nasional, terdapat sekitar 285 kabupaten kota yang berada di level 1, sehingga dapat menjalankan PTM terbatas 100% ini guna menghindari learning loss. Pelaksanaan PTM pun disesuaikan dengan level kasus infeksi Covid-19 per daerah.
“Pendidikan kalau sudah ketinggalan, mengejarnya susah, tidak main-main. Secara nasional kualitas pendidikan kita sudah tertinggal, bahkan masih ada anak-anak yang belum bisa membaca, ditambah dengan pandemi lagi. PTM adalah jawaban untuk mengejar ketertinggalan, tapi tetap prokes, prokes, dan prokes,” imbuhnya.
Dalam pelaksanaannya, Sri menjelaskan bahwa tenaga pengajar tentunya sudah divaksin secara lengkap sembari peserta didik yang secara bertahap sedang dilengkapi vaksinasinya. PTM pun dilakukan dengan disiplin prokes yang ketat, mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan proses pembelajaran harus dikawal dengan baik. Proses PTM yang aman pun dapat tercipta dengan peran keluarga selain penerapan prokes yang baik di sekolah dan juga vaksinasi.
“Vaksinasi dan prokes saja tidak cukup, perlu adanya perubahan perilaku yang baik pula. Orang tua harus dapat mengedukasi anak-anak bahwa kita harus menjadi masyarakat yang siap menghadapi tantangan, seperti pandemi ini. Kita harus bisa saling menguatkan dan saling mengingatkan,” ujar Sri Wahyuningsih.
Sri juga menyampaikan bahwa PTM Terbatas ini bersifat adaptif, sehingga pemerintah akan mengikuti perkembangan kasus COVID-19. Sri menegaskan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap anak-anak yang menjalankan PTM dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ).
“Jika PJJ, tentunya kita membutuhkan porsi peranan orang tua yang lebih besar ya,” terangnya.
Penerapan Kurikulum Khusus (Prototype)
Sri Wahyuningsih menambahkan, dampak pembelajaran jarak jauh berkepanjangan menyebabkan capaian pembelajaran menurun, penurunan kualitas karakter anak, penurunan kedisiplinan, dan meningkatnya stres pada anak dan angka putus sekolah.
Untuk itu, seluruh pemerintah daerah diharapkan memberikan alternatif mendorong fasilitas dan layanan pembelajaran agar menumbuhkan kembali rasa semangat anak-anak. "Kemendikbud sendiri akan menerapkan kurikulum khusus (prototype) dimana kurikulum ini lebih sederhana dan esensial daripada kurikulum K13. Kurikulum ini akan diberikan kepada wajib kepada 2500 sekolah penggerak dari PAUD, SD, SMP, SMA dan SLB yang terpilih dari 115 kota dan kabupaten mulai tahun ajaran baru 2022/2023 mendatang," katanya.
Ini supaya adalah upaya agar tidak terjadi demotivasi belajar pada anak-anak sekolah, karena memperoleh pendidikan adalah hak setiap anak, lanjut Sri.
Sri mengungkapkan, kurikulum prototype ini lebih sederhana dibandingkan kurikulum 2013. Dan satuan sekolah yang menggunakan kurikulum khusus ini tidak terlalu ekstrem ketertinggalannya.
"Karena kurikulum prototype sudah disederhanakan, berbeda dengan kurikulum 2013 yang perlu energi adaptasi cara belajar hingga pencapaiannya turun," katanya.
Sri berharap upaya ini bisa dilakukan agar tidak ada demotivasi bagi anak dan orangtua, khususnya angka putus sekolah. "Karena belajar itu hak semua anak dalam memperoleh pendidikan. Ayo kita mengembalikan anak ke sekolah," pungkasnya.
Advertisement