Liputan6.com, Jakarta - Kasus positif masih tinggi di Eropa namun Denmark memutuskan untuk mencabut aturan-aturan protokol kesehatan COVID-19.
Kerajaan Denmark menyatakan virus Corona COVID-19 bukan lagi ancaman serta masyarakat sudah menginginkan hidup normal.
Baca Juga
Penasihat kesehatan pemerintah Denmark, Michael Bang Petersen, menyebut fakta tingginya tingkat vaksinasi COVID-19 di negara tersebut. Selain itu, masyarakat pun lebih takut pada lockdown ketimbang kesehatan mereka.
Advertisement
"Sebab warga Denmark memiliki tingkat vaksinasi yang tinggi, dan data kami menunjukkan bahwa mereka punya kepercayaan tinggi pada vaksin. 81% dari seluruh populasi telah divaksinasi dan 61% populasi telah mendapatkan vaksin booster. Vaksin tersedia bagi usia 5 tahun ke atas," cuit Petersen di akun Twitter-nya pada 1 Februari 2022.
Terkait kebijakan yang ditetapkan Denmark, epidemiolog Dicky Budiman menilai bahwa keputusan tersebut diambil dengan kesiapan. Keputusan tersebut diberlakukan atas asas pertimbangan kombinasi politik dan ekonomi yang berlandaskan pada modal besar Denmark di aspek angka vaksinasi yang tinggi. Seperti disampaikan Bang Petersen di atas bahwa cakupan vaksinasi booster bahkan sudah mencapai 61 persen.
Selain itu, keputusan Denmark mencabut aturan COVID-19 melihat dari kasus ICU yang rendah meski tingkat infeksi COVID-19 yang amat tinggi.Â
"Saat ini kasus infeksi luar biasa tinggi, sangat tinggi, tapi ini pola yang normal dari Omicron," kata Dicky.
"Bicara kasus infeksi dari Omicron ini memang sulit dihindari karena bukan cuma orang yang belum divaksin yang kena tapi juga yang sudah divaksin," katanya lagi dalam pesan suara ke Health-Liputan6.com pada Jumat (4/2/2022).
Mengenai kasus infeksi yang diikuti dengan hunian di rumah sakit meningkat, menurut Dicky, orang-orang di negara maju memang cenderung ke rumah sakit dibanding diam di rumah. Saat mendapatkan perawatan di rumah sakit, mereka merasa lebih aman. Maka dari itu jumlah orang yang masuk RS tinggi.
Walau ada peningkatan jumlah pasien di rumah sakit, tapi kondisi tersebut bisa ditangani. Tekanan pada rumah sakit lebih rendah tujuh kali dari pada gelombang sebelumnya, seperti kata Dicky.
"Kenapa mereka memutuskan kebijakan itu? Oke banyak yang masuk rumah sakit tapi tertangani. Rumah sakit enggak sampai kolaps, masih ada bed, masih ada tenaga (tenaga kesehatan), obatnya juga ada," kata Dicky yang juga peneliti Global Health Security dan Pandemi pada Center for Environment and Population Health di Griffith University, Australia.
Pemerintah Denmark Percaya Diri, Mayoritas Penduduk Dukung Pelonggaran Aturan COVID-19
Selain modality dari imunitas yang tinggi dari vaksinasi, Dicky juga menyorot upaya Denmark melakukan survei publik sebelum pencabutan aturan dilakukan. Dalam survei publik itu, hasilnya sekitar 60 persen masyarakat setuju akan adanya penghapusan aturan terkait COVID-19, dan 28 persen tidak setuju.
Menurut Dicky, apa yang dilakukan Denmark itu merupakan cerminan negara maju. Ketika mengeluarkan kebijakan, negara tersebut bakal melakukan uji kebijakan, ada analisis. Sehingga ketika kebijakan tersebut dijalankan, pemerintah percaya diri karena kebijakan didukung publik.
"Pemerintah Denmark confidence karena mayoritas publik mendukung pelonggaran," katanya.
Meski aturan COVID-19 dicabut, Dicky mengatakan bahwa apa yang terjadi di Denmark adalah hal dinamis. Itu artinya masih bisa ada perubahan kebijakan baru dengan melihat perkembangan kondisi di sana.
Denmark memang mencabut aturan protokol kesehatan COVID-19, tapi bukan berarti pandemi COVID-19 sudah berakhir di negara tersebut.
"Denmark masih anggota WHO dan WHO mengatakan bahwa pandemi masih ada," kata Dicky.Â
Advertisement
Indonesia Bisa Lakukan Hal Sama?
Kebijakan yang diberlakukan di Denmark membuat banyak orang bertanya-tanya, mungkinkah hal yang sama dapat diberlakukan di Indonesia?
Dicky mengatakan Indonesia bisa melonggarkan aturan COVID-19, tapi itu memiliki risiko besar. Selain itu penguatan perlu juga dilakukan di banyak aspek.
"Masyarakat sudah siap belum? Tingkat kepercayaan masyarakat ke pemerintah bagaimana? Lalu, cakupan booster bagaimana? Ya kalau sekarang belum, cakupan dosis dua saja baru 62 persen."
"Jadi, kalau mau pelonggaran ya kita kejar trust (kepercayaan masyarakat ke pemerintah), cakupan vaksinasi, perbaikan di fasilitas kesehatan. Saya rasa akhir tahun bisa," tutup Dicky.