Liputan6.com, Jakarta - Ketika mendengar profesi tukang cukur ahli bedah, Anda mungkin bertanya-tanya apa profesi sebenarnya? Pada abad 11 dan 12, tukang cukur ahli bedah menjadi profesi baru di Eropa. Namun pendidikannya tentu tidak seperti dokter.
Tukang cukur ahli bedah ini memiliki alat potong rambut dan cukur berupa pisau tajam. Namun memiliki pengetahuan tentang kulit dan darah sehingga memiliki perlengkapan yang baik untuk menghadapi tantangan medis.
Baca Juga
Dokter pada abad pertengahan itu merupakan orang yang kaya dan berpendidikan. Namun para dokter tersebut tidak melakukan aktivitas langsung seperti pengambilan darah, pemberian enema, pembalutan luka, dan membersihkan kalus dan cacing. Di sinilah tukang cukur ahli bedah masuk.
Advertisement
Dilansir buku Medicine The Definitive Ilustrated History, Steve Parker menjelaskan bahwa awalnya tukang cukur itu magang ke dokter. Kemudian keberadaan tukang cukur ahli bedah ini secara bertahap menjadi penting seperti praktisi medis yang sangat diperlukan sesuai hak mereka.
Tukang cukur ahli bedah ini pindah dari toko pangkas rambut lokal ke tempat medis yang lebih resmi, bekerja sama dengan elit medis.
Lingkup pekerjaan tukang cukur ahli bedah juga melebar dari mengatasi tulang yang patah hingga membalut luka.
Tukang cukur ahli bedah ini juga muncul di medan perang di seluruh Eropa, di mana keterampilan praktis dan pendekatan pragmatis mereka menyelamatkan banyak nyawa.
Salah satu tukang cukur ahli bedah di abad 16 itu seperti Ambroise Pare dari Prancis. Ia membantu komunitas tukang cukur-ahli bedah mendapatkan pengakuan yang sah.
Namun, peran tukang cukur-ahli bedah memudar pada tahun 1700-an, ketika pelatihan medis menjadi lebih formal dan terorganisir.
Spesialis ahli bedah dengan pelatihan universitas dan pengalaman langsung mendominasi bidang bedah. Sedangkan tukang cukur kembali memangkas rambut.
Pengalaman Ambroise Pare
Ambroise Paré hadir pada tahun 1537, ketika melayani sebagai ahli bedah tentara selama Pengepungan Turin.
Paré kehabisan ramuan minyak mendidih yang digunakan pada saat itu untuk membakar (membakar dan menutup) luka akibat bubuk mesiu.
Proses tersebut diduga untuk “mendetoksifikasi" tubuh dari racun dari bubuk mesiu dan proyektil. Namun Pare harus segera mencari alternatif pengobatan.
Paré mengingat pengobatan kuno. Dia mencampur ramuan kuning telur, minyak mawar, dan terpentin dan mengoleskannya pada luka para prajurit. Keesokan harinya, Paré melihat bahwa luka-lukanya mulai sembuh. Selain itu, pengobatan dari Pare biaa menghindari rasa sakit yang mengerikan akibat minyak mendidih.
Karena pengalamannya ini, Paré memutuskan untuk mengubah sikapnya terhadap pengobatan dan pembedahan. Dia memutuskan untuk mengamati dengan cermat, menggunakan penilaiannya sendiri, mencoba ide-ide baru, dan menilai hasilnya.
Pendekatan eksperimental ini tentu bertentangan dengan metode kuno yang digunakan oleh sebagian besar dokter dan ahli bedah pada saat itu.
Advertisement