Liputan6.com, Jakarta - Kanker paru menjadi salah satu kanker dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia, terutama pada pria. Data Globocan 2020 menunjukkan setidaknya ada sekitar 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Evlina Suzanna mengatakan bahwa kanker paru diperkirakan diderita oleh 26.000 hingga 27.000 penduduk per tahun di Indonesia.
Baca Juga
"Rata-rata per tahun bertambah 21.000 kasus kanker paru dengan angka kematian 18 per 100.000 kasus atau 18.000 jiwa per tahun," katanya.
Advertisement
Evlina juga menambahkan, bahwa kanker paru berada pada urutan keenam setelah kanker payudara dan serviks pada wanita.
Menanggapi data tersebut, Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Prof. dr. Elisna Syahruddin Sp.P(K) PhD. menyarankan orang-orang dalam kelompok berisiko tinggi terkena kanker paru melakukan skrining dan deteksi dini.
Ini Pentingnya Skrinning dan Deteksi Dini
Skrining merupakan upaya menemukan suatu penyakit sebelum menjadi kanker pada mereka yang belum bergejala namun masuk ke dalam kelompok berisiko tinggi. Sementara deteksi dini merupakan upaya menemukan suatu penyakit pada mereka dengan faktor risiko dan sudah bergejala.
“Salah satu usaha kita pada orang yang belum bergejala tetapi dia berisiko tinggi, maka skrining dilakukan dengan CT-scan low dose setiap dua tahun sekali,” ujar dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan itu.
Pada kasus kanker paru, kelompok berisiko yang dimaksud adalah mereka yang berusia di atas 45 tahun dan termasuk perokok aktif serta pasif, berusia 40 tahun dengan riwayat kanker paru di keluarga serta bekerja di sektor bangunan, misalnya pekerja bangunan.
"Usia lebih muda kalau punya faktor risiko dalam keluarga kita minta usia 40 tahun supaya kalau ketemu stagenya masih awal, pengobatan akan bagus jika dia mau diobati," jelas Elisna.
Sementara itu, deteksi dini disarankan pada mereka dengan faktor risiko dan sudah bergejala.
Reporter: Lianna Leticia
Advertisement