Liputan6.com, Jakarta - Kemarin, Senin, 14 Februari 2022, pemerintah mengumumkan bahwa karantina bagi Pelaku Perjalanan Luar Megeri (PPLN) yang sudah melakukan vaksinasi booster akan berkurang menjadi tiga hari.
Terkait hal tersebut, Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia Dicky Budiman mengungkapkan bahwa memang pelonggaran peraturan terkait COVID-19Â di beberapa negara lainnya juga sudah dilakukan.
Baca Juga
Menurutnya, hal tersebut ada kaitannya dengan memulihkan aktivitas atau roda kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Meskipun di Indonesia sendiri sebenarnya status vaksinasi COVID-19 pun belum cukup untuk mencapai herd immunity.
Advertisement
"Tentu ini bukan tanpa risiko, ada risiko. Tapi sulit untuk dihindari karena memang ini sudah harus bertahap mulai dipulihkan," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Selasa (15/2/2022).
Dicky menjelaskan, pelonggaran terkait COVID-19 seperti pada pintu masuk negara, karantina, atau di dalam negeri juga harus dilakukan berlandaskan data.
Serta, menurut Dicky, harus adanya pemahaman dasar bahwa situasi terkait pandemi COVID-19 sebenarnya bersifat dinamis, yang mana masih ada kemungkinan munculnya varian baru lagi dan potensi gelombang lain meskipun kian mengecil.
"Nah ini artinya membutuhkan satu strategi jangka pendek, menegah, maupun jangka panjang. Sehingga tahapan-tahapan (pelonggaran) ini menjadi tahapan yang terukur," kata Dicky.
"Ketika dihadapkan pada situasi yang lebih serius, sudah punya strateginya. Ini penting," tambahnya.
Harus ada mitigasi
Dicky juga mengungkapkan bahwa dalam hal karantina, mau dihilangkan atau tidak, mitigasi harus tetap dilakukan.
"Mitigasi itu mulai dari memastikan pelancongnya sudah dalam proteksi penuh, mau itu booster, dengan juga PCR-nya negatif. Ini menjadi hal yang tidak boleh diabaikan," ujar Dicky.
Tak hanya itu, mempersiapkan sistem kesehatan dalam negeri juga menjadi hal yang penting dan harus diperkuat.
"Kalau bicara negara maju, mereka tentu kuat. Ketika ada yang terinfeksi dan tidak masuk kerja, atau bahkan tidak dapat pekerjaan pun mereka pun masih bisa tetap dapat penghasilan karena mendapatkan sokongan dari pemerintahnya,"
"Universal health coverage itu di negara-negara maju tentu sudah berjalan baik dan tercapai, dan aspek-aspek dukungan sosial juga ada. Nah ini tentu harus dipertimbangkan dalam konteks Indonesia," kata Dicky.
Pertimbangkan efek jangka panjang
Dicky menambahkan, kasus infeksi COVID-19 bukanlah sesuatu yang memiliki dampak jangka pendek, melainkan juga jangka panjang. Seperti efek dari long COVID-19, misalnya.
Menurut Dicky, efek long COVID-19 bisa menjadi masalah bagi Indonesia kedepannya. Sehingga saat ingin mengambil keputusan pun, pemerintah juga harus mempertimbangkan hal tersebut.
"Karena apa jadinya nanti kalau banyak orang Indonesia yang harus bolak balik karena kita tidak atau gagal mencegah banyaknya infeksi saat ini," ujar Dicky.
"Jadi adanya pelonggaran-pelonggaran memang tidak bisa dihindari. Tapi mitigasi, kemudian proteksi, dan deteksi itu menjadi hal yang juga tidak bisa diabaikan," sambungnya.
Advertisement