Liputan6.com, Jakarta - Sejak merebaknya kasus Omicron di Indonesia, penanganan COVID-19 banyak dialihkan ke rumah lewat isolasi mandiri (isoman) dan didampingi layanan telemedicine.
Pada Rabu, 16 Februari 2022, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, meski kasus COVID-19 varian Omicron telah melebihi kasus harian pada gelombang Delta, keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit masih terkendali.
Baca Juga
Sejauh ini, BOR di RS rujukan COVID-19 masih berada pada angka 33,41 persen dan lebih rendah dibandingkan dengan gelombang Delta pada Juli 2021 lalu.
Advertisement
Terkait hal tersebut pun, Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengingatkan bahwa hal tersebut tidak dapat menjadi satu-satunya patokan dalam penanganan COVID-19 pada gelombang Omicron.
"Hal lain yang harus dipahami adalah Indonesia itu enggak bisa hanya melihat 'Oh rumah sakit kosong' karena orang Indonesia karakternya enggak mudah ke rumah sakit, karakternya ngobatin sendiri, tinggal di dalam rumah, bukan ke rumah sakit," ujar Dicky pada Health Liputan6.com, Jumat (18/2/2022).
"Nah ini yang harus dipahami. Sehingga kunjungan rumah, active case finding harus aktif dilakukan karena kalau tidak nanti kematian di rumah banyak," tambahnya.
Terlebih, menurut Dicky, potensi tekanan pada masa gelombang Omicron ini juga tetap ada. Terutama dari kelompok rawan seperti lansia, komorbid, dan belum mendapatkan vaksinasi.
Hal tersebut dianggap menjadi bahaya dan harus dimitigasi dengan tepat. Apalagi menurutnya, Indonesia juga belum mencapai titik puncak gelombang Omicron.
"Ini yang berbahaya dan harus dimitigasi. Ini trennya belum melewati puncak juga, baru akan untuk potensi-potensi ledakan. Sehingga harus segera dicegah (kenaikan kasusnya)," kata Dicky.
Skrining kelayakan
Dalam kesempatan yang sama, Dicky menjelaskan bahwa saat pasien COVID-19 menjalani isoman, maka penting untuk melakukan skrining kelayakan.
"Isoman ini juga harus dipastikan dengan adanya screening dengan masalah kelayakan dari sisi teknis dan klinis, sehingga tidak jadi korban."
"Kunjungan rumah, telemedisin, dilibatkan juga relawan dan ormas (organisasi masyarakat) atau organisasi yang bisa membantu. Itu menjadi sangat penting," ujarnya.
Tak hanya itu, ia pun mengungkapkan, hal-hal tersebut harus dibangun dengan strategi komunikasi risiko yang efektif. Sehingga masyarakat pun dapat memahami potensi yang bisa muncul.
"Semua itu harus dibangun dengan strategi komunikasi risiko yang efektif, sehingga terbangun kesadaran (pada masyarakat). Tidak happy talk atau yang enak-enak saja. Sampaikan apa potensi buruknya, kelemahannya, sehingga kita jadi tahu situasi apa yang sedang dihadapi," pungkasnya.
Advertisement