Liputan6.com, Jakarta - Minggu lalu, pemerintah mengumumkan bahwa karantina bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) bagi WNI maupun WNA yang telah melakukan vaksinasi booster akan berubah menjadi tiga hari.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh bahwa Indonesia telah melakukan pembukaan secara bertahap. Mengingat masa pemulihan dari pandemi COVID-19 sudah mulai dilakukan.
Baca Juga
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito pun mengungkapkan, produktivitas masyarakat yang tidak aman justru dapat membuat adanya lonjakan kasus, yang justru dapat menurunkan capaian ekonomi jauh lebih besar.
Advertisement
Sehingga, ada dua hal yang dianggap penting dalam menuju pembukaan bertahap untuk menjamin produktivitas masyarakat yang aman.
Pertama, positivity rate yang rendah. Poin ini berkaitan dengan proporsi masyarakat yang positif dari keseluruhan yang melakukan tes.
Maka jika positivity rate berada pada titik rendah, hanya ada sedikit orang yang positif dari keseluruhan orang yang dites.
"Sehingga, dapat disimpulkan bahwa risiko penularan yang ada di komunitas cenderung kecil," ujar Wiku melalui keterangan pers di Graha BNPB pada Kamis, 24 Februari 2022.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menetapkan angka dibawah 5 persen (positivity rate) sebagai tolak ukur terkendalinya kasus COVID-19 di masyarakat.
Standar tersebut mencakup hasil yang didapatkan baik dari rapid test antigen maupun PCR, tergantung pada kondisi masing-masing negara.
Testing memadai
Sedangkan yang kedua adalah jumlah testing yang memadai. Testing juga terbagi menjadi dua tujuan yang berbeda yakni untuk skrining dan diagnosa.
Wiku menjelaskan, testing untuk skrining bertujuan untuk mengetahui kondisi seseorang sebelum akhirnya memulai aktivitas yang berpotensi menularkan.
Sedangkan testing dengan tujuan peneguhan diagnosa seperti PCR, memiliki akurasi yang lebih tinggi, dan lebih banyak digunakan untuk memastikan positif tidaknya orang yang bergejala atau kontak erat.
Kedua hal inipun menjadi penting karena jika jumlah orang yang dites tidak memadai, maka angka positivity rate pun tidak valid untuk menggambarkan kondisi penularan di masyarakat.
"Untuk itu, testing perlu dilakukan dengan jumlah yang memadai, baik untuk keperluan skrining maupun peneguhan diagnosa. Sebab keduanya berkontribusi atas valid-nya angka positivity rate," kata Wiku.
Advertisement