Sukses

2 Alasan RI Belum Bisa Longgarkan Prokes COVID

Indonesia belum melonggarkan prokes COVID dengan berbagai pertimbangan

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa negara melonggarkan protokol kesehatan atau prokes COVID tapi Indonesia belum melakukan hal tersebut dengan berbagai pertimbangan.

Dua pertimbangan di antaranya adalah penularan kasus COVID-19 di Tanah Air masih tinggi dengan positivity rate yang masih di atas 20 persen lalu angka kematian pun masih di atas 200.

Maka dari itu disiplin prokes masih perlu dijalankan seperti disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Soedjatmiko.

“Bulan Desember angka kematian setiap hari di bawah 10 orang. Mulai akhir Januari setiap hari kematian meningkat terus, sampai akhir Februari menjadi sekitar 250-300 kematian setiap hari di Indonesia,” papar pria karib disapa Prof Miko pada Senin (28/2/2022).

Kasus kematian dan sakit berat masih banyak ditemukan di Indonesia. Terutama pada lansia yang belum divaksinasi maupun belum lengkap mendapatkan vaksinasi COVID-19, katanya.

Lalu, positivity rate di Indonesia juga masih tinggi dengan persentase beragam di atas lima persen. Hanya Maluku yang di bawah angka di bawah lima persen yakni Maluku sebesar 2,9 persen.

Positivity rate 33 provinsi sampai 26 Februari 2022 masih di atas lima persen dengan kisaran tujuh sampai 28 persen. Artinya, penyebaran dan penularan di 33 provinsi masih tinggi dan cepat,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Liputan6.com.

Dengan kondisi penularan masih tinggi dan cepat serta angka kematian masih tinggi, protokol kesehatan masih sangat diperlukan sebagai perlindungan masyarakat. Jika pelonggaran prokes dilakukan, kasus jadi tidak terkendali.

“Kalau dilakukan pelonggaran protokol kesehatan, maka akan terjadi lonjakan peningkatan kasus yang tidak terkendali. Rumah sakit akan kewalahan, angka kematian di isoman (isolasi mandiri) dan di rumah sakit akan meningkat tajam,” kata dokter spesialis anak konsultan ini.

 

2 dari 3 halaman

Vaksinasi Lansia dan Anak Jadi Sorotan

Cakupan vaksinasi dosis pertama sudah mencapai lebih 70 persen dari populasi dan dosis kedua sudah 69 persen per 28 Februari namun sebarannya belum merata. Maka perlu ditingkatkan terus agar makin banyak masyarakat Indonesia mendapatkan dosis lengkap serta booster.

“Hanya 9 provinsi yang cakupannya lebih dari 70 persen, sedangkan 25 provinsi lain cakupannya masih di bawah 70 persen, dengan kemungkinan ada kabupaten/kota dan kecamatan/desa yang cakupannya lebih rendah,” jelas Prof Miko yang juga anggota Indonesian Technical Advisory Group on Immunization/ITAGI.

Ia juga menyorot mengenai vaksinasi pada lansia yang masih 53,5 persen pada dosis kedua. Lalu, baru 6,2 persen yang mendapatkan dosis ketiga (booster). Padahal mendapatkan vaksinasi lengkap dan booster mampu melindungi lebih tinggi dari risiko kematian.

Miko juga menyorot vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun, yang mana cakupan dosis kedua baru mencapai 40,8 persen. Bila seperti ini, Pembelajaran Tatap Muka di daerah dengan positivity rate lebih dari 5 persen sangat berisiko menimbulkan penularan pada murid, guru, orangtua dan lansia di rumah.

“Oleh karena itu perlu percepatan vaksinasi primer untuk anak umur 6-11 tahun dan booster untuk lansia,” tegas Prof Miko.

Selain vaksinais, masyarakat harus disiplin membentengi diri agar virus COVID-19 tidak masuk ke tubuh kita harus tetap dilakukan dengan cara mengenakan masker medis atau masker kain 3 lapis dengan benar.

3 dari 3 halaman

Infografis Bedanya Vaksin Primer dengan Booster Covid-19