Perawatan kesuburan moderen seperti Fertilisasi in vitro (IVF/ program bayi tabung), ternyata sangat berisiko bagi ibu hamil karena bisa menyebabkan terputusnya pembuluh arteri hingga pembekuan darah.
Dalam IVF, telur wanita diambil dari tubuhnya dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Kemudian embrio dimasukkan ke dalam rahim. Dalam proses yang mungkin bisa dicangkokkan embrio di luar rahim, dan dapat berkembang menjadi kehamilan ektopik.
Penelitian dari Institut Karolinska di Swedia menemukan bahwa wanita yang hamil melalui IVF, berisiko tinggi sakit pada paru-paru dan tromboemboli vena (bekuan darah) selama tiga bulan pertama kehamilan.
Sebelumnya penelitian mengatakan kalau fertilisasi in vitro (IVF) merupakan prosedur medis yang relatif aman yang dapat membantu pasangan dalam mengatasi ketidaksuburan seperti dikutip Foxnews, Jumat (18/1/2013).
Fertilisasi in vitro atau di Indonesia disebut program bayi tabung adalah proses yang melibatkan telur dan sperma di luar tubuh dan kemudian menanamkan embrio yang dihasilkan kembali ke dalam rahim ibu.
Sejak bayi IVF pertama lahir pada tahun 1978, lebih dari 5 juta bayi telah dikandung dan dilahirkan melalui prosedur ini.
"Saya tidak percaya dengan prosedur IVF. Anda harus merangsang folikel ovarium untuk mendapatkan telur. Tingkat estrogen juga mengalami peningkatan, dan tingkat estrogen yang tinggi menyebabkan peningkatan risiko pembekuan darah," kata Peter Henriksson, seorang profesor dan dokter kepala di Institut Karolinska.
Untuk menentukan kejadian penyumbatan dan pembekuan darah selama kehamilan, Henriksson dan rekan-rekannya menganalisis informasi dari 23.498 wanita yang telah menjalani IVF. Kemudian peneliti membandingkannya dengan 116.960 wanita yang memiliki kehamilan normal. Rata-rata usia pasien adalah 33 tahun dan dibagi menjadi dua kelompok.
Melalui catatan kesehatan masyarakat, para peneliti menentukan berapa banyak perempuan yang telah didiagnosa menderita pulmonary embolism (PE) dan tromboemboli vena (VTE) selama trimester pertama mereka.
Dari perempuan yang telah melakukan IVF, sebanyak 4,2% dari 1.000 wanita didiagnosis VTE, dibandingkan dengan 2,5% dari 1.000 orang yang memiliki kehamilan normal.
Peningkatan risiko ini juga diakibatkan PE, dengan 8% wanita IVF dan akhirnya arterinya tersumbat, dibandingkan dengan hanya 5% perempuan yang normal. PE adalah penyebab utama kematian ibu.
"Jika sirkulasi darah dalam tubuh berhenti, bekuan darah akan menuju ke sisi kanan jantung dan selanjutnya ke arteri paru," jelas Henriksson.
 "Dalam arteri paru, bekuan darah dapat menghambat sirkulasi. Jika gumpalan besar atau terdapat emboli berulang (penyumbatan), maka benar-benar dapat memblokir sirkulasi, dan hal ini sangat berbahaya. "
Henriksson berharap penelitian ini bisa memicu penyelidikan lebih lanjut ke dalam masalah serta membantu mendidik dokter dan perempuan agar sama-sama mengetahui risiko IVF.
"Saya berharap kalau wanita akan memiliki kecurigaan jika mendapatkan gejala sesak napas, atau dokter bisa menduga ini ada hubungannya dengan trombosis paru, dan kemudian wanita mendapatkan diagnosis yang benar sebelum semuanya terlambat."
Penelitian ini dipublikasikan secara online di British Medical Journal. (Fit/Igw)
Dalam IVF, telur wanita diambil dari tubuhnya dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Kemudian embrio dimasukkan ke dalam rahim. Dalam proses yang mungkin bisa dicangkokkan embrio di luar rahim, dan dapat berkembang menjadi kehamilan ektopik.
Penelitian dari Institut Karolinska di Swedia menemukan bahwa wanita yang hamil melalui IVF, berisiko tinggi sakit pada paru-paru dan tromboemboli vena (bekuan darah) selama tiga bulan pertama kehamilan.
Sebelumnya penelitian mengatakan kalau fertilisasi in vitro (IVF) merupakan prosedur medis yang relatif aman yang dapat membantu pasangan dalam mengatasi ketidaksuburan seperti dikutip Foxnews, Jumat (18/1/2013).
Fertilisasi in vitro atau di Indonesia disebut program bayi tabung adalah proses yang melibatkan telur dan sperma di luar tubuh dan kemudian menanamkan embrio yang dihasilkan kembali ke dalam rahim ibu.
Sejak bayi IVF pertama lahir pada tahun 1978, lebih dari 5 juta bayi telah dikandung dan dilahirkan melalui prosedur ini.
"Saya tidak percaya dengan prosedur IVF. Anda harus merangsang folikel ovarium untuk mendapatkan telur. Tingkat estrogen juga mengalami peningkatan, dan tingkat estrogen yang tinggi menyebabkan peningkatan risiko pembekuan darah," kata Peter Henriksson, seorang profesor dan dokter kepala di Institut Karolinska.
Untuk menentukan kejadian penyumbatan dan pembekuan darah selama kehamilan, Henriksson dan rekan-rekannya menganalisis informasi dari 23.498 wanita yang telah menjalani IVF. Kemudian peneliti membandingkannya dengan 116.960 wanita yang memiliki kehamilan normal. Rata-rata usia pasien adalah 33 tahun dan dibagi menjadi dua kelompok.
Melalui catatan kesehatan masyarakat, para peneliti menentukan berapa banyak perempuan yang telah didiagnosa menderita pulmonary embolism (PE) dan tromboemboli vena (VTE) selama trimester pertama mereka.
Dari perempuan yang telah melakukan IVF, sebanyak 4,2% dari 1.000 wanita didiagnosis VTE, dibandingkan dengan 2,5% dari 1.000 orang yang memiliki kehamilan normal.
Peningkatan risiko ini juga diakibatkan PE, dengan 8% wanita IVF dan akhirnya arterinya tersumbat, dibandingkan dengan hanya 5% perempuan yang normal. PE adalah penyebab utama kematian ibu.
"Jika sirkulasi darah dalam tubuh berhenti, bekuan darah akan menuju ke sisi kanan jantung dan selanjutnya ke arteri paru," jelas Henriksson.
 "Dalam arteri paru, bekuan darah dapat menghambat sirkulasi. Jika gumpalan besar atau terdapat emboli berulang (penyumbatan), maka benar-benar dapat memblokir sirkulasi, dan hal ini sangat berbahaya. "
Henriksson berharap penelitian ini bisa memicu penyelidikan lebih lanjut ke dalam masalah serta membantu mendidik dokter dan perempuan agar sama-sama mengetahui risiko IVF.
"Saya berharap kalau wanita akan memiliki kecurigaan jika mendapatkan gejala sesak napas, atau dokter bisa menduga ini ada hubungannya dengan trombosis paru, dan kemudian wanita mendapatkan diagnosis yang benar sebelum semuanya terlambat."
Penelitian ini dipublikasikan secara online di British Medical Journal. (Fit/Igw)