Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa perang menimbulkan konsekuensi jangka panjang pada layanan kesehatan Ukraina.
“Konsekuensi yang akan bergema selama bertahun-tahun atau dekade yang akan datang. Bisa terjadi gangguan parah terhadap layanan kesehatan dan akses terhadap bahan pokok. Ini sebagai akibat dari rusaknya infrastruktur secara luas, termasuk fasilitas kesehatan,” ujar Tedros mengutip keterangan pers WHO yang dirilis Kamis (17/3/2022).
Baca Juga
WHO telah memverifikasi 43 serangan terhadap fasilitas perawatan kesehatan Ukraina, dengan 12 orang tewas dan 34 terluka, termasuk petugas kesehatan.
Advertisement
Dalam konflik apapun, serangan terhadap fasilitas perawatan kesehatan merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional, lanjut Tedros.
“Mereka mencabut pasien dari perawatan yang sangat dibutuhkan dan menghancurkan sistem kesehatan yang sudah tegang.”
Simak Video Berikut Ini
Risiko Ekstrem
Lebih lanjut, gangguan terhadap layanan dan pasokan di Ukraina menimbulkan risiko ekstrem bagi orang dengan penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, HIV, dan TB. Penyakit-penyakit tersebut merupakan salah satu penyebab utama kematian di Ukraina.
Pengungsian, tempat tinggal yang buruk, dan kondisi kehidupan yang penuh sesak yang disebabkan oleh konflik cenderung meningkatkan risiko penyakit seperti campak, pneumonia, dan polio.
Layanan untuk kesehatan mental dan dukungan psikososial sangat dibutuhkan untuk membantu orang mengatasi dampak perang.
Ada lebih dari 35.000 pasien kesehatan mental di rumah sakit jiwa Ukraina dan fasilitas perawatan jangka panjang yang menghadapi kekurangan obat-obatan, makanan, pemanas, selimut dan banyak lagi.
Advertisement
Memperburuk Dampak Pandemi
Di sisi lain, perang juga memperburuk dampak pandemi COVID-19 di Ukraina. Dengan hanya sepertiga dari populasi orang dewasa yang divaksinasi lengkap, ini meningkatkan risiko sejumlah besar orang mengembangkan penyakit parah.
Kekurangan pasokan oksigen juga akan berdampak pada kemampuan merawat pasien COVID-19 dan banyak kondisi lainnya.
“Setidaknya 8 fasilitas untuk memproduksi dan menyimpan oksigen cair kini telah ditutup, dan kami sedang mencari cara untuk mengakses oksigen dari negara tetangga dan cara untuk mengirimkannya dengan aman ke tempat yang membutuhkannya.”
WHO ada di lapangan, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan mitra untuk mendukung petugas kesehatan dan sistem kesehatan untuk memberikan perawatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan yang mendesak.
“Sejauh ini, kami telah mengirimkan sekitar 100 metrik ton pasokan medis, termasuk oksigen, insulin, perlengkapan bedah, anestesi, dan kit transfusi darah – cukup untuk 4.500 pasien trauma dan 450.000 pasien perawatan kesehatan primer, selama satu bulan,” tutupnya.