Liputan6.com, Jakarta Di tengah penurunan kasus di RI, bukan tidak mungkin Indonesia kembali mengalami peningkatan kasus COVID-19 seperti Hong Kong, China, Korea Selatan dan negara-negara Eropa. Indonesia memiliki beberapa faktor risiko yang bisa memicu kenaikan kasus bahkan kematian seperti disampaikan epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman.
"Hal yang sama bisa terjadi. Tidak ada yang tidak mungkin. Bicara risiko, kita punya," kata Dicky.
Baca Juga
5 Cara Mengonsumsi Alpukat untuk Menurunkan Kolesterol dan Mendapatkan 3 Manfaat untuk Jantung Anda
Penonton DWP Asal Malaysia hingga Thailand Diperas Polisi Lewat Tes Urine, Warganet: Bikin Malu Negara
Top 3 Islami: Doa dan Amalan Istri supaya Suami Banjir Rezeki, Dosakah Suami yang Nafkahnya Selalu Kurang?
Kehadiran subvarian Omicron BA.2 jadi biang keladi tingginya kenaikan kasus di sana. Lonjakan kasus terjadi karena subvarian yang kerap disebut 'Omicron Siluman' memiliki tingkat penularan 4 kali lipat lebih cepat dari varian Delta serta jumlah virusnya 10 kali lipat dari subvarian Omicron BA.1.
Advertisement
"Saat BA.1 mereka (negara-negara lain) relatif bisa melewati dengan baik, karena apa? Karena kecepatan BA.1 menular dan menyebabkan keparahan tidak separah kalau BA.2," kata Dicky lewat pesan suara ke Health-Liputan6.com pada Jumat (18/3/2022) sore.
Lalu, bagaimana sebaran varian BA.2 di Indonesia? Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa subvarian ini sudah terdeteksi di Indonesia.
"Subvarian ini juga sudah ada di Indonesia. Dalam dua bulan lebih kita sudah melakukan 8.032 genome sequencing. Di akhir-akhir memang porsi BA.2 ini sudah dominan juga di Indonesia," lanjut Budi Gunadi " katanya dalam Keterangan Pers Menteri terkait Hasil Ratas Evaluasi PPKM yang dilakukan secara daring pada Senin, 14 Maret 2022.
BA.2 sudah masuk Indonesia pada Januari 2022 dan saat ini terdeteksi di 19 provinsi di RI berdasarkan data GISAID per 13 Maret 2022.
Dicky juga menyebut dengan karakter BA.2 yang memiliki kecepatan penularan dan jumlah virus lebih banyak bisa berimbas pada meningkatnya jumlah kematian pada lansia yang belum divaksin lengkap yang terpapar COVID-19. Hal ini terlihat pada kasus yang terjadi di Hong Kong dan China.
"Kondisi itu membuat kelompok rawan di Hong Kong dan China. Terutama bagi mereka orang lanjut usia yang belum dapat dosis kedua atau vaksin booster yang jadi korban. Kelompok itu kan ada di Indonesia, katanya.
Â
RI Jangan Merasa Situasi COVID-19 Sudah Terkendali
Di tengah data yang menunjukkan penurunan kasus di RI, Dicky mengingatkan bahwa ada beberapa aspek yang membuat Indonesia tidak boleh merasa aman dari COVID-19. Paling tidak ada dua aspek yang jadi catatan yakni testing COVID-19 yang tidak memadai dan angka positivity rate yang masih di atas 5 persen.
"Ini menunjukkan kita enggak bisa mengklaim situasi terkendali dan merasa aman, ya karena tes (COVID-19) tidak semasif saat gelombang Delta. Lalu, test positivity rate di atas 5 persen di banyak provinsi itu menandakan bahwa infeksinya jauh lebih banyak di masyarakat dibanding yang ditemukan. Ini bahaya! Kita harus mewaspadai BA.2," tegas Dicky.
Â
Advertisement
Awas, Kemunculan Gelombang-Gelombang Kecil COVID-19
Berkaca dari kenaikan kasus di Eropa akibat BA.2 memang tidak sebesar gelombang Delta, meski begitu Indonesia tetap harus waspada. Kemungkinan muncul gelombang-gelombang COVID-19 kecil tetap ada yang tetap bisa membebani fasilitas kesehatan. Ingat, gelombang ketiga bukanlah gelombang terakhir COVID-19 dan Omicron bukanlah varian terakhir virus SARS-CoV-2.
"Semakin ke sana, gelombang COVID-19 itu semakin kecil-kecil (jumlahnya) tapi kalau dempet-dempetan jarak atau fasenya, ya tetap jadi beban faskes," kata Dicky.
Di tengah ancaman BA.2, ia pun mengingatkan agar kelompok berisiko termasuk lansia untuk segera melengkapi dosis vaksinasi dan booster COVID-19. Hal ini perlu dilakukan guna mencegah tingginya angka kematian seperti yang terjadi di Hong Kong.
Infografis Gejala Covid-19 Omicron dan Cara Penanganan
Advertisement