Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa keputusan mengubah pandemi COVID-19 menjadi endemi tidak pernah 100 persen berdasarkan faktor kesehatan.
Pernyataan Menkes Budi merujuk pada sejarah penetapan status endemi.
Baca Juga
"Itu hasil keputusannya tidak pernah 100 persen faktor kesehatan. Ada faktor kesehatan, ekonomi, politik, budaya," kata Budi dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kementerian Kesehatan RI pada Jumat, 18 Maret 2022.
Advertisement
Budi Gunadi Sadikin juga menekankan bahwa keputusan mengubah status pandemi ditetapkan pemimpin. Bisa ditetapkan pemimpin negara atau pemimpin dunia seperti Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
"Jadi, bukan keputusan dari media atau dari Menteri Kesehatan atau Menteri Dalam Negeri saja,"Â dia menambahkan.
Â
Perubahan dari Pandemi Menuju Endemi
Budi, mengatakan, pandemi COVID-19 tidak akan selamanya berstatus pandemi. Melainkan secara bertahap memasuki endemi. Hanya saja, ada kriteria yang harus dipenuhi untuk memasuki fase tersebut.
Misalnya, dari sektor kesehatan, indikator endemik adalah transmisi COVID-19 berada pada level 1 sesuai standar WHO selama tiga hingga enam bulan. Level transmisi ini merujuk pada laju penularan, keterisian tempat tidur rumah sakit, dan kematian.
Selain itu, laju transmisi (Rt) COVID-19 harus di bawah 1 selama tiga hingga enam bulan. Kemudian cakupan vaksinasi dosis lengkap minimal 70 persen dari total populasi.
Â
Advertisement
Penjelasan Pakar Terkait Endemi
Sebelumnya, Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, ada tiga kriteria dari akhir pandemi COVID-19.
Pertama, kasus COVID-19 muncul dalam waktu empat atau enam bulan sekali. Kemunculan kasus COVID-19 juga hanya terjadi pada daerah dengan cakupan vaksinasi rendah.
Kedua, COVID-19 tidak mendominasi penyakit infeksi dan tak menimbulkan kondisi darurat. Ketiga, cakupan vaksinasi dunia sudah mencapai sekitar 70 persen atau sedikitnya 60 persen dari total populasi.
"Harus ada modal imunitas yang dominan, yang jelas tidak bisa kalau 50 persen. Harus di atas dari 50 persen, lebih dari setengah populasi sudah punya imunitas atau dua dosis,"Â katanya kepada merdeka.com, Senin (21/2).
Menurut Dicky, kriteria ini merujuk pada situasi wabah SARS pada 2002. Dicky berpendapat bahwa pandemi COVID-19 bisa berakhir pada akhir 2022.
Meskipun kewenangan mencabut status pandemi dilakukan WHO. Dengan catatan, negara-negara di dunia tidak gegabah melonggarkan aktivitas sosial.
"Kalau kita grasa grusu, kepengin cepat-cepat, padahal kemampuan belum ada, kondisi belum memungkinkan. Apapun kalau buru-buru, yang ada celaka," ujarnya.
Â
Sejumlah Negara Melonggarkan Prokes
Dicky, mengatakan, sejumlah negara yang sudah melonggarkan aktivitas sosial karena dorongan politik dan ekonomi, bukan berdasarkan indikator kesehatan.
Jika melihat indikator kesehatan saat ini, dunia masih menghadapi pandemi COVID-19.
"Jadi saya khawatir itu delusi. Jadi itu kalau tidak kuat, tidak memahami kondisi sesungguhnya berbahaya,"Â katanya.
Terlalu gegabah keluar dari pandemi COVID-19 bisa menimbulkan bahaya baru. Misalnya, memicu munculnya varian baru COVID-19. Varian tersebut berisiko menurunkan efektivitas vaksin dan memercepat proses penularan.
"Ini bisa menurunkan target yang sedianya akhir tahun ini kita bisa keluar, secara indikator kesehatan bisa keluar dari situasi pandemi, dia bisa mundur. Ini berbahaya, berbahaya sekali," kata dia.
Â
Advertisement
Posisi Indonesia Sudah Benar
Menurut Dicky, posisi Indonesia saat ini sudah benar. Indonesia belum melonggarkan aktivitas sosial secara total dan terus mempercepat vaksinasi. Meskipun, vaksinasi di Tanah Air masih rendah dibandingkan negara lain.
"Nah kalau juga kita ikut-ikutan, itu selain berbahaya untuk kita, karena masih jauh, juga berbahaya untuk dunia. Kita ini kan ketua Presidensi G20, harus memberi imbauan, harus mengingatkan sebagaimana WHO juga sudah mengingatkan,"Â ujarnya.
Â
Kata Mantan Petinggi WHO
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama menambahkan ada empat hal yang membuat sejumlah negara melonggarkan restriksi. Pertama, sudah melewati puncak gelombang Omicrom, kini kasus di negaranya menurun.
Kedua, cakupan vaksinasi dosis lengkap sudah lebih dari 80 persen dari total populasi. Ketiga, cakupan vaksinasi booster kemungkinan sudah lebih dari 70 persen dari total penduduk.
Keempat, memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat siap untuk menghadapi gejolak peningkatan kasus COVID-19.
Menurut Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini, tidak ada aturan baku untuk menentukan pelonggaran aktivitas sosial. Setiap negara dapat memutuskan masing-masing, termasuk Indonesia.
"Dalam hal ini tentu tetap perlu diwaspadai kemungkinan adanya varian atau jenis baru di masa datang, yang bukan tidak mungkin akan mengubah kebijakan yang sudah dibuat,"Â pungkasnya.
Penulis :Â Titin Supriatin/Merdeka.com
Advertisement