Liputan6.com, Jakarta Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan bahwa lonjakan kasus COVID-19 di Korea Selatan dan China serta tingginya kasus kematian di Hong Kong merupakan bukti nyata bahwa COVID-19 sebagai penyakit pandemi belum berakhir.
"Mau sebagian negara berkehendak menetapkan COVID-19 sebagai endemi, secara nyata dan fakta, COVID-19 ini belum berakhir sebagai penyakit pandemi," kata Dicky.
Baca Juga
Lika-liku Pencalonan Airin Rachmi di Pilkada Banten 2024, Dihujat di TikTok hingga Suami Diperiksa Kejati tapi Elektabilitasnya Tetap Tinggi
Lika-liku Ridwan Kamil dalam Pilgub Jakarta 2024, Sering Dihujat karena Rendahkan Martabat Perempuan hingga Cuitan Lawasnya Dibongkar
Pertarungan 3 Artis di Pilbup Bandung Barat 2024 Jadi Sorotan, Siapa yang Bakal Menang?
Penyakit pandemi artinya COVID-19 masih mengancam seluruh wilayah dunia tanpa terkecuali karena belum bisa direm lajunya oleh karena imunitas dari sebagian penduduk dunia telah ada. Fakta bahwa setengah populasi dunia sudah memiliki imunitas COVID-19 baik dari infeksi maupun vaksinasi belum mampu meredam COVID-19. Terbukti dari masih muncul varian baru seperti Omicron serta subvarian BA.2 yang menyebabkan tinggi kasus di beberapa negara di atas serta Eropa.
Advertisement
"BA.2 bisa menjadi perburukan faktor pandemi di suatu negara Eropa. Di China bisa sebabkan beberapa wilayah harus lockdown, lalu di Korea Selatan dalam sejarah pandemi tes positivity rate mendekati 90 persen. Ini luar biasa," kata Dicky lewat pesan suara ke Health-Liputan6.com.
Dengan fakta di atas, membuktikan bahwa pandemi belum berakhir. Di sisi lain, membuktikan juga bahwa Omicron bukanlah varian virus SARS-CoV-2 yang tidak lemah.
"Omicron yang dianggap lemah bisa sebabkan kematian bahkan lebih banyak dari Delta," kata pria yang juga peneliti Global Health Security dan Pandemi pada Center for Environment and Population Health di Griffith University Australia ini.
Â
Pesan Penting untuk RI
Melihat kasus di Korea Selatan, China, Hong Kong serta negara Eropa, Dicky berpesan agar situasi global ini harus dijadikan pelajaran bagi RI dalam membuat dasar mitigasi.
"Bahwa pelonggaran yang dilakukan harus terukur, bertahap dan tidak bisa digeneralisasi, harus dilakukan per wilayah," sarannya.
Bisa juga dilihat dari perilaku warga terhadap protokol kesehatan serta meniliki dari capaian vaksinasi COVID-19 dalam membuat aturan pelonggaran mobilitas.
"Bukan tidak mungkin kita mengalami hal serupa seperti di negara tersebut. Bisa saja terjadi gelombang selanjutnya tapi kita harus bisa memitigasi 3T tidak boleh dikendorkan secara drastis," kata Dicky.
Advertisement