Sukses

Belajar Berdamai dengan Emosi dari Prahara Will Smith dan Chris Rock

Sejatinya emosi tak perlu didamaikan, dia hanya perlu untuk disadari.

Liputan6.com, Jakarta Publik masih riuh membicarakan prahara yang terjadi antara Will Smith dan Chris Rock di panggung perhelatan Oscar 2022. Aksi kekerasan fisik yang dilakukan Will Smith terhadap rekan sesama artis, Chris Rock disebabkan emosi akibat mendengar kata-kata yang membuatnya tak nyaman.

Salahkan Will Smith dengan tindakannya itu? atau justru Chris Rock yang bertindak di luar kendali karena mengeluarkan candaan yang tak layak?

Tentu berbagai sudut pandang bermunculan, di sisi Will Smith yang merasa layak memukul mereka dirasa menyinggung diri dan keluarganya, di sisi lain Chris Rock yang berdalih bahwa itu candaan. Meski sikap itu pun tak serta merta membuatnya merasa laik meluncurkan kata-kata yang menyinggung siapa pun terlebih di hadapan publik.

 

2 dari 5 halaman

Manusia & Emosinya

Manusia kerap bereaksi atas segala hal yang terjadi padanya. Ragam atas reaksi tersebut cenderung dipengaruhi sisi emosional daripada sisi rasional. Emosilah yang membuat kita hidup. Kita memerlukan emosi dalam menciptakan karya seperti tulisan, lirik lagu, seni rupa dan sebagainya.

“Pintu pertama interaksi manusia terhadap hidup ini adalah emosinya,” kata praktisi mindfulness, Adjie Santosoputro yang dirangkum Liputan6.com melalui tayangan zoom ‘Berdamai Dengan Emosi’, Selasa (29/03/2022).

Emosi dan rasional itu adanya dipikiran. Jalur reaksi manusia diawali dengan emosi menuju ke kognisi (kesadaran) kemudian ke afeksi (perasaan). Pada afeksi itulah letak amigdala tersebut. Kemampuan seseorang melatih reaksi terhadap emosinya bergantung dari rajinnya melatih mindfulness atau kesadaran diri. Ini bermanfaat untuk bisa mengatur reaksi atau output yang keluar setelah terjadinya reaksi emosi tersebut.

Berdamai Dengan Emosi

Berdamai Dengan Emosi diambil dari buku Adjie Santosoputro yang berjudul Tenang di Tengah Gelombang (TDTG) Buku yang terbit akhir tahun 2021 oleh Penerbit Charissa Publisher. Bagian dari buku ini kemudian dibuatkan webinar berkala secara gratis dengan topik yang diambil dari buku TDTG tersebut salah satunya yang diadakan semalam.

3 dari 5 halaman

Label-label Emosi

Kembali ke prahara dua aktor Hollywood, Will Smith dan Chris Rock. Label emosi apa yang ada pada mereka, marahkah, tersinggung, keinginan berbagi canda? Emosi muncul setiap kali kita terpapar stimulus. Kemudian kita mulai sibuk mencari label atas emosi. Upaya memberi label itulah awal mula lahirnya dualitas emosi (emosi positif atau negatif).

Ketika marah, reaksi atas emosi kita terbagi dua yaitu eksternal dari lingkungan (nature) dan pola asuh (nurture) dan sisi Internal yaitu rem kognisi (kesadaran).

“Ingat saja bahwa emosi tidak bisa dilatih, emosi tidak bisa diregulasi. Semakin kita meregulasi emosi, maka emosi akan makin kuat melakukan serangan balik,” kata Adjie.

Ketika kita menyadari emosi dengan melatih kesadaran diri kita, maka ini akan membantu agar emosi itu tidak meledak berlebihan.

“Selama ini kita terlalu sibuk melabeli setiap emosi yang hadir daripada menyadarinya. Apakah itu rasa marah, kecewa, gembira, dan sebagainya. Kebiasaan yang justru membuat kita jadi overthinking,” sambung Adjie.

4 dari 5 halaman

Tips Berdamai Dengan Emosi

4 jurus yang kerap kita pakai untuk menanggapi emosi seperti Melampiaskan dengan oversharing, Menekan, Mengalihkan ke bentuk healing atau refreshing, dan yang keempat Reframing.

Berikut 2 tips dari Mas Adjie untuk membuat emosi tak bergerak dan tak menguasai diri kita.:

1. Kurangi Mengusir, Menekan, Melawan, dan Mempertahankan Emosi

Sering kali kita bersikap agresif terhadap emosi. Ketika muncul rasa sedih, kita cenderung ingin segera melawannya, ketika marah ingin mengusirnya. Akibatnya, kita pun jadi sering ‘berkelahi’ dengan pikiran dan perasaan kita sendiri.“Kurangi mengusir, melawan, mepertahankan. Cukup sadari segala emosi yang hadir,”

2. Tak Perlu Memberi Nama Emosi

Inilah awal mula munculnya dualitas pengkategorian menjadi emosi positif dan negatif. Setiap kali terstimulus, kita kerap berspekulasi, “Ini perasaan apa ya? Marah, sedih, kecewa, rindu, atau apa?”

Ketika merasakan sesuatu, kita tergesa-gesa memberi nama atas emosi itu. Nama-nama yang kita berikan pada emosi itu sebetulnya berdasar atas referensi masa lalu yang kita alami. Ketika kita memberi nama atas referensi masa lalu tersebut maka secara tidak langsung kita sedang menguatkan emosi-emosi tersebut dalam pikiran.

“Terlalu sibuk menganalisa justru membuat kita overthinking dan makin jauh dari inti masalah yang sedang kita alami,” ujar penulis buku TDTG itu.

“Berhentilah mengidentifikasi, menyelidiki, memberi nama atas emosi kita, cukup sadari saja. Seperti apa sensasinya, tentu tidak mudah. Latihan kesadaran paling awal dengan berlatih untuk meyadari napas kita. Ini cara jitu yang turut membantu menguatkan otot kesadaran kita,” sambungnya.

Emosi yang muncul adalah hal yang baru, yang mungkin saja mirip dengan emosi yang pernah kita alami beberapa waktu lalu. Namun, setiap emosi yang kita rasakan adalah hal baru. Kuncinya adalah sikapilah emosi itu sebagai sesuatu yang baru.

5 dari 5 halaman

Melatih Inner Skill

Bagaimana jika kita berada dalam lingkaran bertemanan yang negatif (toxic relationship) atau bertemu dengan mereka yang membuat emosi kita tak nyaman? Seringkali saat berada atau bertemu dengan ketidaknyamanan kita cenderung fight atau flight. Namun sayangnya tak semua bisa kita hadapi dengan perlawanan atau menghindari.

Misalkan lingkaran toxic itu berasal dari keluarga atau orang terdekat membuat kita tak bisa dengan mudah menghindarinya. Di sinilah letak pentingnya mengolah sampah toxic dan latihan inner skill. Ada kalanya kita mesti punya ketrampilah mengolah ‘sampah’ menjadi ‘pupuk’.

Maksudnya adalah kemampuan kita mengolah lingkaran toxic menjadi satu bentuk kesadaran baru. Kemampuan tersebut akan membuat kita tak perlu lelah menghindari, meninggalkan, atau memalingkan diri dari mereka yang membuat emosi kita tidak nyaman. Jika mereka sekadar teman nongkrong tentu dengan mudahnya kita menghindari dengan tak perlu lagi pergi atau berkumpul.

Lantas, bagaimana jika orang tersebut adalah keluarga, atasan, guru kita? Apakah kita akan terus menghindar?

Di sinilah otot kesadaran kita dilatih untuk menghadapinya dan bukan menghindari. Karena sejatinya emosi tak perlu didamaikan, dia hanya perlu untuk disadari.