Liputan6.com, Jakarta Pelanggaran etik berat yang dialami mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pun berhak membina anggotanya. Ini didorong metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau cuci otak yang dilakukan Terawan tidak terbukti berbasis ilmiah.
Meskipun muncul beragam testimoni bahwa terapi cuci otak berhasil baik, Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia, M. Nasser menekankan, hal itu tetap saja melanggar etik. Dalam hal ini, metode DSA belum diakui resmi secara keilmiahan.
Advertisement
Baca Juga
"Dokter terkena pelanggaran etik kedokteran bila dia menggunakan cara dan metode (pengobatan) yang belum diakui secara lazimnya sebuah pelayanan untuk manusia. Enggak boleh coba-coba walau animo masyarakat banyak," tegas Nasser saat konferensi pers pada Selasa, 5 April 2022.
"Walaupun uang banyak masuk (dalam melakukan tindak medis yang tersangkut pelanggaran etik) ya enggak boleh. Itu pelanggaran etik berat menurut IDI. Tolong dihargai dan dihormati."
Sebagaimana Pasal 68 Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004, apabila ditemukan pelanggaran etik yang dilaporkan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lalu diteruskan ke IDI. Maka, IDI berhak membina anggota yang bersangkutan.
"Ini sudah tertuang dalam undang-undang terhadap eksistensi organisasi profesi--IDI--untuk membina anggotanya. Kalau IDI melaksanakan pembinaan kepada anggota sudah diatur di dalam perhimpunan organisasi," lanjut Nasser sekaligus merespons sejumlah pihak yang meminta IDI membina Terawan, bukan memberhentikan keanggotaan.
"Nah, seharusnya itu menjadi perhatian kita semua bahwa organisasi profesi melakukan sesuatu (membina anggotanya yang terkena pelanggaran etik)."
Kewenangan Membina Anggota IDI Tercantum dalam UU
Dijelaskan Nasser, pelanggaran etik berat juga dapat menimpa dokter apabila melakukan praktik kedokteran tanpa Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Selain itu, mengambil keuntungan materi secara berlebihan dan tidak terpuji.
"Misalnya, ada dokter bedah yang melakukan operasi memancungkan hidung. Harrganya kan mahal itu dan banyak pasien datang, lalu ditegur oleh IDI atau MKDKI setempat, karena ada standar prosedur yang merugikan orang lain," jelasnya.
"Jenis pelanggaran etik berat lainnya adalah tidak hadir ketika dipanggil IDI untuk mengklarifikasi tindakan medis yang dilakukan dokter bersangkutan."
Menilik pelanggaran etik berat yang bisa terjadi pada dokter, IDI mempunyai kewenangan membina anggotanya. Aturan hukum juga tertuang pada Pasal 188 Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004.
"Disebutkan kewenangan organisasi profesi membina anggotanya. Yang jelas ada kewenangan itu dalam undang-undang, bukan tidak ditulis. Inilah pemahaman-pemahaman yang belum sempurna (diketahui) (pejabat) Pemerintah," ucap Nasser.
Advertisement