Liputan6.com, Jakarta - COVID-19 identik dengan penyakit yang menyerang sistem pernapasan. Namun, seiring berkembangnya penelitian, penyakit akibat virus Corona ini juga ternyata bisa berdampak pada hampir semua bagian tubuh termasuk otak.
Menurut peneliti dari Curtin University, Australia, Sarah Hellewell, pada sebagian kecil pasien, infeksi COVID-19 dapat disertai dengan episode psikosis pasca-COVID. Ini diartikan sebagai keterputusan dari kenyataan yang dapat menakutkan bagi pasien dan orang yang mereka cintai.
Baca Juga
“Psikosis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan pikiran bingung, delusi dan halusinasi. Orang dengan psikosis kesulitan untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak,” kata Sarah mengutip Channel News Asia, Minggu (10/4/2022).
Advertisement
Psikosis terjadi dalam episode yang dapat berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Sejak awal pandemi COVID-19, laporan psikosis pasca-COVID telah datang dari seluruh dunia.
Psikosis pasca-COVID berbeda dengan psikosis yang terlihat pada penyakit otak lainnya. Apa yang disebut "psikosis episode pertama" biasanya terlihat pada remaja atau dewasa muda dalam perkembangan skizofrenia, atau bersama demensia pada orang tua.
Namun, orang yang mengalami psikosis pasca-COVID biasanya berusia 30-an, 40-an, 50-an, dan mengalami psikosis untuk pertama kalinya. Artinya, mereka biasanya tidak memiliki riwayat keluarga psikosis.
Orang dengan psikosis pasca-COVID juga sering menyadari tentang perasaan mereka. Mereka dapat mengenali ini tidak normal bagi mereka, dan sesuatu telah berubah dalam cara mereka berpikir.
Berdasarkan laporan yang masih terbatas, psikosis dapat terjadi setelah beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan setelah didiagnosis COVID-19.
Gejala Psikosis Pasca-COVID
Gejala psikosis pasca-COVID dapat bervariasi seperti:
- Memiliki masalah tidur.
- Diikuti oleh delusi dan halusinasi paranoid.
- Beberapa orang merasa terdorong untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Bukti ilmiah psikosis pasca-COVID sebagian besar berasal dari "laporan kasus", yang merupakan makalah penelitian yang menjelaskan gejala dan pemulihan masing-masing pasien.
Dalam kasus pertama dan paling banyak dilaporkan, seorang wanita Amerika berusia 36 mengalami psikosis sekitar empat hari setelah dia mulai mengalami gejala COVID-19 ringan. Dia menjadi delusi, berpikir bahwa pasangannya mencoba untuk menculik anak-anaknya.
Dia juga merasa yakin bahwa keberadaannya selalu dilacak melalui ponsel sehingga merasa sangat tidak tenang. Dia pun dibawa ke rumah sakit untuk perawatan. Setelah satu minggu perawatan rawat inap untuk mengobati psikosisnya, dia dipulangkan. Delusinya tidak kembali.
Dalam kasus lain, seorang pria Bulgaria berusia 43 mulai mengalami psikosis dua hari setelah dia keluar dari rumah sakit karena COVID-19 yang parah. Dia percaya para dokter telah memalsukan hasil dengan mengatakan penyakit COVID-19-nya telah sembuh.
Dia juga mengalami delusi bahwa dia telah meninggal dan organ tubuhnya busuk. Dia juga membahayakan keluarganya sendiri lantaran percaya bahwa dia harus membunuh mereka untuk menghindarkan mereka dari penderitaan yang sama. Setelah dua minggu dirawat di rumah sakit, gejala psikosisnya sembuh dan tidak kambuh lagi.
Advertisement
Penyebab Psikosis
Studi kasus lain telah melaporkan orang-orang yang mengalami delusi bahwa pasien di rumah sakit adalah aktor dan staf medis yang mencoba menyakiti mereka.
Mereka juga mendengar suara-suara berbicara dalam bahasa asing atau menyuruh mereka melakukan tugas-tugas besar, seperti menyelamatkan bumi.
Sementara, penyebab psikosis pasca-COVID tidak dipahami dengan baik. Beberapa ilmuwan berpikir itu bisa jadi karena peradangan terus-menerus di otak, sinyal peradangan yang berkepanjangan di tubuh atau karena perubahan pembuluh darah di otak.
Ada bukti baru bahwa area otak yang mengalami perubahan pada infeksi COVID-19 ringan kemungkinan merupakan area yang berubah pada orang yang berisiko psikosis.
Area-area ini adalah korteks orbitofrontal di bagian depan otak, dan gyrus parahippocampal--wilayah memori utama jauh di dalam otak. Wilayah ini dapat menyusut pada pasien COVID-19 ringan dan psikosis. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami kaitan ini.
Bukan yang Pertama
COVID-19 bukanlah virus pertama yang dikaitkan dengan psikosis. Selama pandemi influenza "flu Spanyol" tahun 1918 ada pula laporan psikosis pasca-virus.
Psikosis telah dilaporkan setelah infeksi dengan coronavirus manusia lainnya, seperti yang menyebabkan Sindrom Pernapasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS).
Hubungan antara virus corona, aktivasi sistem kekebalan dan psikosis juga telah ditemukan, menunjukkan bahwa COVID-19 mungkin bukan satu-satunya virus corona yang mampu menyebabkan psikosis.
Walau demikian, bukti hingga saat ini menunjukkan psikosis pasca infeksi jarang terjadi. Ini hanya terjadi pada sekitar 0,25 persen kasus COVID-19 yang tidak dirawat di rumah sakit (dan kemungkinan memiliki infeksi ringan), dan 0,89 persen orang yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19.
Meskipun risiko psikosis pasca-COVID rendah, orang yang pernah menderita COVID-19 dan keluarganya harus waspada terhadap perubahan mendadak dalam kepribadian, paranoia, atau delusi pada hari, minggu, dan bulan setelah infeksi.
Jika tanda-tanda ini diperhatikan, mencari bantuan medis sangat penting. Sebagian besar kasus psikosis pasca-COVID sembuh dengan cepat dengan perawatan psikiatri yang tepat dan pengobatan dengan obat-obatan.
Advertisement