Liputan6.com, Jakarta Saat ini, situasi COVID-19 di China sedang dalam kondisi buruk. Pada Minggu 24 April kemarin, Shanghai melaporkan adanya 39 kasus kematian baru.
Mengutip laman Channel News Asia, data resmi menunjukkan bahwa angka tersebut menjadi jumlah korban kematian harian tertinggi sejak dilakukannya lockdown berminggu-minggu di sana.
Baca Juga
Sementara di ibu kota China yakni Beijing situasi COVID-19 dikabarkan sedang tidak baik-baik saja lantaran kasus harian terus mengalami peningkatan.
Advertisement
Di Beijing, distrik timur terpadat Chaoyang dengan 3,45 juta penduduk pun telah melakukan perluasan dalam hal pengujian (testing). Di sana, setiap orang yang tinggal atau bekerja harus menjalankan tiga tes COVID-19 selama satu minggu ini.
Merespons kondisi tersebut, Chaoyang melarang pula dilakukannya kelas tatap muka atau kegiatan olahraga ekstrakurikuler tanpa batasan waktu.
Banyak tempat olahraga atau studio kebugaran yang menutup dan membatalkan kelas selama periode satu ini.
Bersamaan dengan semua peraturan tersebut, Beijing juga telah memberlakukan kontrol ketat saat masuk ke kotanya. Para pelancong diharuskan membawa tes COVID-19 dengan hasil negatif dalam waktu 48 jam jika hendak masuk.
Bahkan, kota atau kabupaten yang melaporkan kasus COVID-19 meskipun hanya satu, dilarang untuk menerima wisatawan atau pengunjung untuk masuk.
Dalam dua tahun terakhir, negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu tengah berjuang untuk membasmi kondisi pandemi COVID-19 terburuknya.
Berbagai upaya dilakukan termasuk dengan melakukan lockdown dan testing massal karena berpegang teguh pada kebijakan nol kasus COVID-19 yang ketat.
Lockdown berkepanjangan
Sejak awal bulan April, pusat bisnis kosmopolitan Shanghai telah melakukan lockdown. Akibatnya, rantai pasokan ikut mengalami permasalahan dengan banyaknya penduduk yang berdiam diri di rumah lebih lama.
Begitupun dengan kota terbesar di China, meski hanya mengumumkan kasus kematian pertamanya pada 18 April lalu, ribuan kasus tetap bertambah setiap harinya selama beberapa pekan terakhir.
Menurut data National Health Commission, terdapat 39 kematian pada hari Minggu sehingga totalnya menjadi 87 kasus kematian. Sedangkan, kasus aktifnya bertambah sebanyak 22 ribu kasus.
Korban kematian tertinggi di Shanghai sebelum dilakukan lockdown ada sebanyak 12 jiwa. Kini, kota dengan penduduk 25 juta jiwa tersebut telah berjuang untuk menyediakan makanan segar bagi penduduknya yang terkurung di rumah.
Sementara itu, para pasien yang sedang sakit juga telah mulai melaporkan kesulitan akses perawatan medis reguler karena ribuan staf kesehatan sedang dikerahkan untuk melakukan testing dan perawatan COVID-19.
Mereka bahkan telah melakukan sensor untuk menghapus reaksi secara online terhadap lockdown yang berkepanjangan tersebut.
Advertisement
Infeksi baru di Beijing
Di ibu kota Beijing, terdapat setidaknya 22 kasus baru yang dilaporkan setelah adanya peringatan untuk melakukan tindakan terkait COVID-19.
Pejabat kesehatan, Pang Xinghuo mengungkapkan bahwa COVID-19 telah menyebar tanpa terlihat di ibu kota Beijing selama seminggu belakangan.
Kondisi tersebut mempengaruhi sekolah, kelompok wisata, dan banyak keluarga.
"Risiko penularan lanjutan dan tersembunyi tinggi, situasinya suram. Seluruh kota Beijing harus segera bertindak," ujar komite partai Kota Beijing, Tian Wei.
Dalam keterangan berbeda, Beijing juga melaporkan adanya panic buying atau kepanikan untuk berbelanja karena adanya lockdown tersebut.
Perintah adanya testing massal dan peringatan tentang situasi COVID-19 di kota tersebut memicu penduduk lari ke supermarket untuk bergegas dan menimbun kebutuhan pokok.
Antrean meliuk-liuk di sekitar mal dan di luar kompleks perkantoran pada hari Senin terlihat. Orang-orang nampak menunggu diambil sampelnya oleh petugas kesehatan dengan alat pelindung.
"Jika ditemukan satu kasus saja, daerah ini bisa terpengaruh," ujar pekerja kantoran, Yao Leiming saat hendak melakukan tes COVID-19.
Stok daring kebutuhan pokok habis
Terkait kondisi tersebut, kebutuhan pokok yang biasanya dijual secara daring atau online juga terjual habis. Hal tersebutlah yang membuat adanya dorongan masyarakat untuk berbelanja secara langsung ke supermarket.
Stok daring tersebut habis terutama untuk pengiriman ke Chaoyang. Perputaran ekonomi di sana pun akhirnya ikut terdampak akibat kasus COVID-19 yang kian melonjak.
Bahkan, produk domestik bruto (GDP) yang sebelumnya tumbuh sebanyak 4,8 persen pada kuartal pertama idi tahun sebelumnya mengalami penurunan secara signifikan yakni menjadi 3,1 persen secara nasional.
"Pada Januari-Februari, operasi ekonomi kota stabil. Tetapi karena dampak wabah COVID-19 pada Maret, kuartal pertama ditandai dengan stabilitas yang diikuti oleh penurunan," ujar biro statistik kota mengutip Channel News Asia.
Perlambatan ekonomi yang terjadi di Shanghai bahkan tidak mempublikasikan data PDB untuk kuartal keempat tahun 2021, hal ini secara luas diperkirakan akan memburuk pada bulan April.
Output dari sektor industri besar Shanghai anjlok 7,5 persen tahun ke tahun di bulan Maret setelah tindakan lockdown yang ketat lantaran beberapa produksi dihentikan.
Advertisement