Liputan6.com, Jakarta Gangguan kesehatan mental adalah hal yang tidak sederhana dan diagnosisnya perlu ditegakkan oleh ahli melalui serangkaian tes.
Namun, di era media sosial, banyak ditemukan iklan yang mendorong masyarakat untuk melakukan diagnosis secara mandiri. Misalnya pada kondisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Baca Juga
Seperti salah satu iklan di TikTok yang berbunyi “Apakah Anda seorang wanita yang lalai? Pelupa? Atau cerewet?”
Advertisement
“Jika demikian, Anda mungkin mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Dan sekaranglah saatnya bagi Anda untuk mengendalikan ADHD Anda dengan mencari konsultasi dan pengobatan dari perusahaan kami,” seperti potongan iklan yang dikutip Channel News Asia.
Iklan dari Cerebral start-up telehealth yang berbasis di San Francisco, adalah satu dari lusinan iklan yang tampil di platform media sosial seperti TikTok dan Instagram. Iklan ini mendorong remaja dan dewasa muda untuk mendiagnosis diri sendiri dengan kondisi kesehatan mental, kemudian menawarkan perawatan mahal sebagai solusinya.
Pengiklan di masa kini cenderung mengikuti tren TikTok. Merek medis meniru unggahan influencer dari sisi nada dan formatnya.
Untuk itu, TikTok mengatakan telah menghapus iklan yang mendorong diagnosis diri atau bertujuan untuk mencegah mencari nasihat medis yang tepat dari profesional kesehatan.
Namun, penegakannya jelas tidak merata. Olivia Little, peneliti senior di Media Matters nirlaba, mengatakan pengguna yang rentan mudah dieksploitasi oleh perusahaan oportunistik.
Perusahaan tersebut mengenakan biaya tidak hanya untuk konsultasi kondisi mental, tetapi juga untuk langganan obat bulanan yang didaftarkan secara otomatis.
Mendorong Kesalahan Diagnosis
Little menambahkan, untuk semua kekurangan sistem perawatan kesehatan, jelas bahwa platform media sosial perlu mengawasi iklan medis dan konten yang dibuat pengguna dengan lebih hati-hati.
Pasalnya, kondisi kesehatan mental tidak dapat dianggap sebagai hal sepele dan ditegakkan begitu saja tanpa ada pemeriksaan dengan ahli, katanya.
“Pengiklan mengambil keuntungan dari hasil menghalangi pengguna untuk periksa langsung ke layanan psikiatri di AS pada khususnya. Mereka mencoba mengeksploitasi celah diagnosis ini,” katanya mengutip Channel News Asia, Selasa (26/4/2022).
Para pengawas lain juga mengatakan bahwa taktik pemasaran ini telah diberi label "predator". Kelompok pengawas berpendapat bahwa pengiklan menyederhanakan kondisi kesehatan dan mendorong kesalahan diagnosis.
Keluhan baru-baru ini telah mendorong TikTok dan pemilik Instagram Meta untuk menghapus beberapa iklan dari Cerebral yang didukung SoftBank – yang diluncurkan pada Januari 2020 dan baru-baru ini bernilai US$4,8 miliar. Pasalnya, iklan tersebut merupakan informasi medis yang salah dan berbahaya.
Advertisement
Tanggapan Pengiklan
Setelah ditentang oleh kelompok pengawas, pihak Cerebral mengatakan bahwa mereka akan mulai meninjau iklannya lebih dekat di masa depan. Mereka juga telah menghapus semua iklan yang menjadi perhatian pada saat itu.
"Kami mendengarkan umpan balik yang diterima dari media dan pasar," kata pihak Cerebral.
Selain iklan, fenomena tersebut memanfaatkan ledakan konten kesehatan mental yang dipicu pandemi. Influencer muda yang membagikan daftar gejala mereka semakin banyak ditemukan selama dua tahun terakhir.
Mereka umumnya mengeluhkan kondisi seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD), gangguan identitas disosiatif, dan autisme.
Subkultur penderita yang cukup besar telah menggelembung: Di TikTok, tagar ADHD memiliki 10,6 miliar tampilan, kecemasan memiliki 13,1 miliar, neurodivergen memiliki hampir 3 miliar.
Kelompok pengawas dan ahli telah memaksa diskusi yang lebih terbuka seputar kesehatan mental. Mereka ingin membantu menghilangkan stigma dan meningkatkan kesadaran akan diagnosis, terutama di antara mereka yang mungkin memiliki sedikit akses ke perawatan kesehatan.
Penelitian Soal Informasi Menyesatkan
Upaya para ahli membasmi stigma soal kesehatan mental dihadapkan dengan ruang media sosial yang bebas. Hal ini menimbulkan tantangan besar.
Penelitian yang diterbitkan baru-baru ini di Canadian Journal of Psychiatry, menganalisis 100 video terpopuler di TikTok tentang ADHD, menemukan bahwa 52 persen dari video tersebut menyesatkan.
Dalam beberapa kasus, video secara keliru menunjukkan bahwa gejala seperti kecemasan, kemarahan, dan perubahan suasana hati hanya khusus untuk ADHD.
Video-video dengan informasi menyesatkan juga salah satunya tentang penyebab ADHD atau cara mengujinya. Bahkan, ada yang menyajikan kuis audio sebagai alat diagnostik.
Diagnosis diri dapat muncul dari dorongan remaja untuk memberontak dari norma, atau menemukan kesamaan dengan kelompok sebaya baru. Bahkan ada kasus pemalsuan penyakit, dijuluki "Munchhausen oleh Internet".
Tetapi yang lebih memprihatinkan adalah implikasinya bagi mereka yang salah mengidentifikasi memiliki kondisi tertentu.
Psikolog Doreen Dodgen-Magee memperingatkan bahwa ketika pengguna media sosial fokus pada satu diagnosis medis, algoritme platform menyajikan konten tanpa akhir yang menawarkan "bias konfirmasi yang kuat" tanpa konteks apa pun.
Tahun lalu, fenomena ini terjadi dengan meningkatnya gadis remaja yang datang ke kantor dokter dengan tics, yang sebagian disebabkan oleh TikTok.
Menurut sebuah surat yang diterbitkan dalam British Medical Journal, para penderita muda melaporkan bahwa mereka memperoleh dukungan sebaya, pengakuan, dan rasa memiliki dari paparan ini.
“Perhatian dan dukungan ini mungkin secara tidak sengaja memperkuat dan mempertahankan gejala,” kata Doreen.
Beberapa orang menyebutnya sebagai “efek horoskop” – pada dasarnya merupakan ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya.
Advertisement