Sukses

WHO: Kasus COVID dan Kematian Akibat Virus Corona Global Terus Menurun

Kabar baik datang dari WHO yang menyebut kasus COVID dan kematian akibat Virus Corona terus menurun

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa secara global kasus COVID dan kematian akibat Virus Corona terus menurun. Tentu saja ini merupakan kabar baik bagi seluruh dunia.

Pekan lalu, kata Tedros, lebih dari 15 ribu kematian pasien COVID-19 dilaporkan ke WHO. Ini merupakan total mingguan terendah sejak Maret 2020.

"Ini adalah tren yang sangat disambut baik, tetapi ini adalah tren yang harus kita sambut dengan hati-hati," kata Tedros dikutip dari keterangan resmi WHO Rabu, 27 April 2022.

Karena banyak negara mengurangi pengujian, WHO semakin sedikit menerima informasi tentang penularan dan pengurutan. Hal ini membuat WHO semakin buta terhadap pola penularan dan evolusi virus.

"Virus ini tidak akan hilang hanya karena negara-negara berhenti mencarinya. Itu masih menyebar, masih berubah, dan masih membunuh," katanya.

Di sisi lain, ancaman varian baru yang berbahaya tetap sangat nyata. Meskipun kematian menurun, WHO masih belum memahami konsekuensi jangka panjang dari infeksi pada mereka yang bertahan.

"Ketika menghadapi virus mematikan, ketidaktahuan bukanlah kabar baik," kata Tedros.

Untuk itu, lanjut Tedros, WHO terus mengimbau semua negara untuk menjaga pengawasan.

Minggu lalu, dia mendapat kehormatan untuk mengunjungi Nepal, dan membahas dampak pandemi dengan Perdana Menteri Sher Bahadur Deuba dan Presiden Bhandari.

Tedros melihat bahwa dengan dukungan WHO, Nepal telah membuat pengurutan genom di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Nasionalnya, yang akan menjadi kunci untuk mengidentifikasi varian potensial SARS-CoV-2, serta patogen di masa depan.

"Saya juga mendapat kehormatan untuk menyaksikan kampanye vaksinasi tifoid pertama di Nepal. Konstitusi Nepal mengatakan bahwa perawatan kesehatan dasar adalah hak dasar setiap warga negara," ujarnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Terkait Pekan Imunisasi Dunia

Tedros juga membahas terkait Pekan Imunisasi Dunia. Menurutnya, ini adalah sebuah kesempatan untuk menyoroti kekuatan vaksin yang luar biasa. Tidak hanya untuk menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk menawarkan kesempatan hidup yang panjang untuk semua.

Namun, pandemi telah menyebabkan gangguan parah pada program imunisasi rutin di seluruh dunia. Ini membahayakan jutaan nyawa anak dan membuka pintu bagi wabah baru campak dan polio.

Salah satu prioritas WHO adalah mendukung negara-negara untuk melakukan kampanye mengejar untuk melindungi sebanyak mungkin anak, secepat mungkin dalam kemitraan dengan aliansi vaksinasi dunia, Gavi.

Dia juga memberi penghargaan untuk Gavi karena selalu menjadi pengingat yang bagus tentang kekuatan vaksin untuk menyelamatkan nyawa. Baik dari COVID-19 maupun banyak penyakit mematikan lainnya, termasuk campak, meningitis, Ebola, polio, dan banyak lagi.

Minggu lalu, Tedros juga mendapat kehormatan mengunjungi India. Di sana dia bertemu dengan Perdana Menteri Narendra Modi.

"Saya juga meresmikan Pusat Global untuk Pengobatan Tradisional WHO dengan Perdana Menteri Modi, yang akan membantu memanfaatkan kekuatan sains untuk memperkuat basis bukti untuk pengobatan tradisional," katanya.

3 dari 4 halaman

Bisa Dicontoh

Tedros kemudian memuji pencapaian Nepal dan India. Menurutnya, baik Nepal dan India semakin dekat untuk memvaksinasi 70 persen populasi mereka terhadap COVID-19 pada pertengahan tahun. Mereka juga meluncurkan booster pada populasi yang paling rentan.

Hasilnya, kedua negara sekarang dapat melihat penurunan antara kasus positif dan kematian.

"Ini adalah tingkat vaksinasi yang perlu kita lihat di semua negara," ujarnya.

Hampir 60 persen populasi dunia kini telah menyelesaikan program vaksinasi utama, tetapi populasi negara-negara berpenghasilan rendah hanya 11 persen.

Menutup kesenjangan ini tetap penting untuk mengakhiri pandemi sebagai darurat kesehatan global. Dan, itu bukan hanya terkait vaksin.

Pada Jumat, WHO merekomendasikan kombinasi antivirus nirmatrelvir dan ritonavir, juga dikenal sebagai Paxlovid, untuk pasien dengan COVID-19 ringan atau sedang yang berisiko tinggi dirawat di rumah sakit. Perawatan ini membantu mencegah rawat inap dan mudah dilakukan.

Namun, beberapa tantangan tetap dihadapi. Paxlovid tidak tersedia di sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Penggunaan Paxlovid semakin dipersulit dengan kurangnya transparansi harga dalam kesepakatan bilateral yang dibuat oleh produsen.

4 dari 4 halaman

Terkait Paxlovid

Sebelumnya, WHO memang sangat merekomendasikan pil Paxlovid untuk pasien COVID-19 bergejala ringan tapi masih berisiko tinggi dirawat di rumah sakit.

Antivirus COVID kombinasi nirmatrelvir dan ritonavir dari raksasa farmasi AS, Pfizer, disebut sebagai pilihan unggul pengobatan untuk orang yang tidak divaksinasi, lanjut usia, atau orang yang sistem kekebalannya terganggu dengan COVID-19.

Hal ini diungkap para ahli WHO dalam jurnal medis British Medical Journal (BMJ) belum lama ini.

Untuk pasien yang sama, WHO juga membuat rekomendasi bersyarat dari obat antivirus remdesivir yang dibuat oleh perusahaan biotek AS Gilead. Sebelumnya, antivirus ini tak disarankan untuk direkomendasikan.

WHO merekomendasikan Paxlovid lebih dari remdesivir, serta lebih dari pil molnupiravir Merck dan antibodi monoklonal.

Perawatan oral Pfizer mencegah rawat inap lebih dari pengobatan alternatif lain yang tersedia karena memiliki lebih sedikit efek samping mengkhawatirkan daripada molnupiravir.

"Juga lebih mudah diberikan kepada pasien daripada remdesivir dan antibodi intravena," kata para ahli WHO mengutip Channel News Asia pada Jumat, 22 April 2022.

Rekomendasi baru ini didasarkan pada temuan dari dua percobaan yang melibatkan hampir 3.100 pasien yang menunjukkan bahwa Paxlovid mengurangi risiko masuk rumah sakit hingga 85 persen.

Rekomendasi ini berlaku untuk orang yang berusia di atas 18, tetapi tidak untuk wanita hamil atau menyusui.

Ini juga tidak berlaku untuk pasien dengan risiko komplikasi penyakit yang rendah, karena manfaatnya akan minimal.

Para ahli WHO juga menolak memberikan pendapat untuk pasien dengan bentuk penyakit yang parah, karena kurangnya data.

"Obat antivirus COVID-19 ini hanya bisa diberikan saat penyakitnya masih stadium awal," kata mereka.