Liputan6.com, Jakarta - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi mengatakan, transisi dari pandemi COVID-19 menuju endemi harus dilakukan secara hati-hati.
Transisi ini perlu melalui berbagai tahapan. Hal ini diutarakan Jokowi menyusul pertanyaan jurnalis terkait diperbolehkannya mudik pada lebaran 2022 dan dampaknya pada transisi tersebut.
Baca Juga
Pergerakan Independen Alex Kuple dalam Bermusik, Ogah Bergantung pada Major Label Berkat Kedekatan dengan Musisi Indie
Mendagri Tito Karnavian Beberkan Alasan Yogyakarta Tetap Naik Pertumbuhan Ekonomi saat Pandemi Covid-19
Pandemi Adalah Wabah Global, Pahami Ciri-Ciri, Cara Menghadapi, serta Bedanya dengan Endemi dan Epidemi
"Memang mudik kita perbolehkan karena melihat angka-angka kasus harian sudah sangat rendah dan kasus aktifnya kan sudah di bawah 20 ribu memang rendah," kata Jokowi usai meninjai Sirkuit Formula E, Jakarta pada Senin, 25 April 2022.
Advertisement
"Tetapi, apapun ada masa transisi yang masih kita harus hati-hati,"Â Jokowi menambahkan.
Dia juga menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin seperti negara-negara lain yang langsung melakukan kebijakan melepas masker. Menurutnya, pemerintah akan melihat situasi pada masa transisi selama enam bulan ke depan.
"Saya tidak ingin kayak negara-negara lain langsung buka masker, ndak. Ini masih masa transisi, kira-kira enam bulan kita lihat seperti apa, baru nanti silakan kalau di luar ruangan buka masker, kalau di dalam ruangan masih pakai masker,"Â ujarnya.
Jokowi menambahkan bahwa ada sejumlah tahapan yang harus dilewati dan pemerintah tidak akan tergesa-gesa dalam memutuskan kebijakan.
Menurutnya, pemerintah juga memiliki sejumlah pengalaman saat menghadapi lonjakan kasus COVID-19 varian Delta maupun Omicron.
"Ada tahapan-tahapan yang kita tidak perlu tergesa-gesa. Apapun, kita punya pengalaman saat Delta seperti apa, saat Omicron seperti apa, sehingga kehati-hatian, kewaspadaan itu tetap harus," Jokowi menekankan.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pandemi Belum Berakhir
Senada dengan Jokowi, ahli epidemiologi Dicky Budiman sebelumnya mengatakan, Indonesia kini memang sedang dalam masa transisi dari pandemi COVID-19.
Hal ini ditandai dengan berbagai pelonggaran yang dilakukan pemerintah. Salah satunya terkait aturan bebas karantina bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN).
Walau pelonggaran yang dilakukan dinilai relatif aman, Dicky mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 belum berakhir.
"Adanya kebijakan pencabutan masa karantina untuk PPLN dalam konteks saat ini relatif aman tapi tentu bukan tidak ada risiko sama sekali," kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.
Terlepas dari pelonggaran yang dilakukan, Dicky mengimbau semua pihak untuk menerapkan persepsi bahwa pandemi belum berakhir.
"Dengan literasi yang kuat, kita bangun persepsi, kewaspadaan bahwa pandemi belum berakhir, adanya pelonggaran ini harus disertai penguatan atau menjaga kualitas penguatan intervensi di aspek lain," katanya.
Dicky, menambahkan, berbagai pelonggaran yang dilakukan perlu diimbangi dengan penguatan aspek-aspek protokol kesehatan.
"Penguatan prosedur dan protokol kesehatan di berbagai setting juga harus diperkuat atau dipastikan bisa terjaga," katanya.
“Kebiasaan memakai masker, menjaga jarak, penguatan kualitas udara, sirkulasi, ventilasi, menjadi sangat penting," Dicky menekankan.
Advertisement
Vaksinasi dan Prokes
Ia juga mengimbau masyarakat agar melakukan vaksinasi tiga dosis. Di sisi lain, perilaku masyarakat di masa transisi juga perlu dijaga atau konsisten dalam menjalankan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas).
Persepsi pandemi belum berakhir dan tetap menguatkan atau menjaga protokol kesehatan di masa transisi dibilang penting karena beberapa negara masih menghadapi ancaman Omicron BA.2 atau yang dikenal dengan Son of Omicron.
"Beberapa negara termasuk di Kawasan Asia Tenggara masih menghadapi sub varian Omicron BA.2. Hal ini perlu menjadi cerminan bagi Indonesia untuk betul-betul menjaga konsistensinya," katanya.
Terkait serangan Omicron, Dikcy mengatakan bahwa dampak yang terjadi dapat berbeda di setiap wilayah. Misalkan, jika di suatu negara Omicron berdampak pada penambahan kasus yang tidak terlalu tinggi, bisa saja di negara lain dampaknya lebih fatal.
Epidemiolog dari Griffith University Australia juga mengingatkan, apa yang terjadi di negara lain, bisa pula terjadi di Tanah Air.
"Apa yang terjadi di luar, bisa terjadi juga di Indonesia," ujarnya.
Jadi Endemi di 2022?
Dicky juga membenarkan bahwa COVID-19 jelas akan menjadi penyakit endemik. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
"Jelas, COVID-19 ini arahnya akan menjadi penyakit endemik. Artinya, penyakit ini akan selalu ada di sekitar manusia dan ini menjadi penting karena kita harus siap sistem kesehatannya," kata Dicky.
Beberapa penyakit endemik yang sudah ada di Indonesia di antaranya demam berdarah, TBC, dan malaria.
"Tapi jadi endeminya di 2022? Menurut saya belum. Status pandemi ini bahkan mungkin bisa berakhir paling cepat pertengahan tahun depan atau akhir tahun depan,"Â Dicky menekankan.
Dicky, menambahkan, sebelum menjadi endemi, pandemi COVID-19 akan menjadi epidemi terlebih dahulu.
"Jika berakhir tahun depan, pandemi ini akan jadi epidemi dulu karena ada beberapa negara yang masih mengalami masa krisis," katanya.
Dengan kata lain, status endemi ini belum diketahui apa akan terjadi pada 2023, 2024, atau 2025.
"Nanti kita lihat perkembangannya ketika epidemi itu sudah mulai terjadi," pungkas Dicky.
Advertisement