Liputan6.com, Jakarta Dalam beberapa hari-hari terakhir dilaporkan kasus hepatitis yang belum jelas penyebabnya. Pada 23 April 2022 Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan setidaknya 169 kasus tersebut dari 12 negara.
Lalu, belakangan dilaporkan sudah ada 12 negara di Eropa yang melaporkan kejadian kasus hepatitis yang belum jelas penyebabnya ini. Kemudian, ada juga kasus di Israel dan Jepang. Jadi, sebenarnya sudah lintas benua.
Baca Juga
Kemarin, Kamis, 28 April 2022, European CDC (E-CDC) sebagai badan yang menangani penyakit menular di Eropa menyampaikan beberapa perkembangan terakhir, sebagai berikut:
Advertisement
1. Masih dilakukan penelitian laboratorik dan epidemiologik untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Sejauh ini, patogen yang paling banyak ditemukan pada pasiennya adalah adenovirus dasn juga SARS-CoV-2.
Di Inggris, 75,5 persen kasusnya di tes positif terhadap adenovirus dan pemeriksaan subtipe pada 11 kasus menunjukkan adenovirus tipe 41F, sama dengan yang dilaporkan di Amerika.
2. Data penelitian epidemiologi awal belum menunjukkan secara jelas adanya sumber penular utama, jadi belum sepenuhnya jelas apakan berhuibungan dengan makanan, obat atau toksin.
3. Kejadian penyakit ini adalah jarang. Tidak jelas ada tidaknya kemungkinan penularan antar manusia, kasusnya masih bersifat sporadis.
4. Mengingat dapat terjadi kegagalan hati akut (acute liver failure) dan bahkan ada yang membutuhkan transplantasi maka E-CDC menyatakan bahwa potensi dampaknya adalah tinggi, dan disebut sebagai public health event of concern.
Â
Upaya E-CDC dan Pesan untuk Kemenkes RI
5. Hal yang masih akan dilakukan oleh E-CDC antara lain:
1. Menggalakkan surveilan dibidang epidemiologi, klinik, virologi, toksikologi dan lain-lain.
2. Perlu mencari informasi lain untuk menegakkan hipotesis penyebab terjadi, termasuk riwayat infeksi sebelumnya, aspek personal, lingkungan dan lain-lain.
3. Perlu ada penelitian mendalam untuk mendapatkan faktor risiko infeksi, kasus menjadi parah, kemungkinan penularan, gambaran klinik yang lengkap dan etiologi penyebabnya.
Kementerian Kesehatan kita memang nampaknya sudah mulai waspada pula. Tiga langkah utama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi kasus, surveilan epidemiologi yang ketat dan pemeriksaan laboratorium yang amat rinci.
Langkah-langkah E-CDC di atas mungkin baiknya juga ada yang diterapkan di Indonesia, sejauh memungkinkan.
Â
Penulis adalah Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehantan RIÂ
Advertisement