Sukses

COVID-19 dengan Gejala Ringan pun Berisiko Mengecilkan Otak Penderitanya

Inilah hubungan antara COVID-19 dan risiko otak yang mengecil dan pasien yang menua lebih cepat

Liputan6.com, Jakarta - Hasil tes COVID-19 yang positif ditanggapi beragam oleh penderitanya. Biasanya seseorang merasa lebih lega jika mengalami gejala COVID yang ringan karena merasa aman dan tidak perlu dirawat di rumah sakit.

Namun, hasil penelitian dengan melakukan pemindaian (scan) otak, menunjukkan, kasus COVID dengan gejala ringan sekalipun dapat mengecilkan bagian otak, menyebabkan perubahan fisik yang setara dengan proses penuaan. Yang membuat Anda 10 tahun lebih tua.

Hanya saja persisnya mengapa kondisi itu bisa terjadi masih menjadi misteri.

Beberapa bukti paling meyakinkan tentang kerusakan saraf setelah COVID-19 dengan gejala ringan berasal dari para peneliti Inggris yang menyelidiki perubahan otak pada orang sebelum dan sesudah terkena penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2.

Sebanyak 785 peserta ---  berumur antara 51 dan 81 tahun --- dipindai sebelum dimulainya pandemi COVID-19, dan kemudian dipindai lagi dengan jarak antar orangnya rata-rata tiga tahun sebagai bagian dari proyek Biobank Inggris.

Catatan medis menunjukkan bahwa 401 relawan ini terinfeksi Virus Corona. Sebagian besar dari mereka mengalami infeksi ringan, hanya 15 dari 401 yang dirawat di rumah sakit.

Hasilnya menunjukkan bahwa empat setengah bulan setelah infeksi COVID-19 ringan, pasien kehilangan (rata-rata) antara 0,2 dan 2 persen volume otak dan memiliki materi abu-abu yang lebih tipis daripada orang sehat.

Peserta yang terinfeksi membutuhkan waktu delapan dan 12 persen lebih lama pada dua tes yang mengukur perhatian, kemampuan penyaringan visual, dan kecepatan pemrosesan.

Para pasien tidak secara signifikan lebih lambat dalam ingatan, waktu reaksi, atau tes penalaran seperti dikutip dari situs Times of India pada Minggu, 15 Mei 2022.

 

2 dari 4 halaman

Pengaruh COVID-19 Terhadap Otak Penderitanya

Secara keseluruhan, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa skor pasien COVID-19 secara signifikan lebih rendah dalam tes perhatian dan memori dibandingkan dengan orang sehat.

Ahli saraf di Rumah Sakit Universitas Paris Lariboisiere, Jacques Hugon, mengatakan, tidak jelas apakah otak akan memerbaiki dirinya sendiri atau apakah pasien akan pulih, bahkan dengan rehabilitasi kognitif.

Menurut Jacques, kerusakan akibat COVID-19 di otak juga bisa berkembang menjadi berbagai gangguan neurodegeneratif.

Meski menurut seorang profesor psikiatri di University of Toronto, Edward Shorter, ini bukan istilah medis formal tapi istilah ini telah menjadi istilah umum guna menggambarkan serangkaian gejala seperti kebingungan, kesulitan menemukan kata, kehilangan memori jangka pendek, pusing, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.

Sesuai laporan, banyak orang telah pulih dari efek akut COVID-19 yang mengancam jiwa, tetapi masih tidak merasa bahwa pemikiran dan ingatan mereka kembali normal.

 

3 dari 4 halaman

Kabut Otak pada Pasien COVID-19

Kabut otak adalah salah satu masalah umum dan sangat merepotkan dengan COVID-19 yang berkepanjangan.

Para ahli percaya perlambatan kognitif dan masalah suasana hati setelah seseorang terinfeksi COVID-19 tampaknya jauh lebih umum daripada kebanyakan infeksi virus lainnya.

Kabut otak dapat memengaruhi pekerjaan seseorang, dengan beberapa berjuang untuk tetap produktif dan yang lain meninggalkan pekerjaan mereka karena mereka merasa tidak mungkin untuk berfungsi.

COVID-19 dapat menimbulkan respons imun yang parah yang dapat memicu badai protein yang disebut sitokin --- yang memerkuat peradangan di seluruh tubuh.

Peradangan jangka panjang dapat meningkatkan penurunan kognitif dan penyakit neurodegeneratif.

-

4 dari 4 halaman

Hubungan Pengaruh COVID-19 Terhadap Pernapasan dan Otak Kekurangan Oksigen

Karena COVID-19 memengaruhi pernapasan, dia dapat membuat otak kekurangan oksigen, seperti yang terlihat dalam data otopsi dari Finlandia.

COVID-19 juga meningkatkan risiko pembekuan darah hingga enam bulan, yang dapat menyebabkan stroke yang membuat jaringan otak kekurangan oksigen.

Beberapa ilmuwan bahkan khawatir bahwa orang yang selamat dari COVID-19 dapat berisiko lebih tinggi terkena penyakit Alzheimer, berdasarkan bukti adanya protein yang disebut beta-amiloid di otak pasien yang lebih muda yang meninggal karena COVID-19.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bukti virus SARS-CoV-2 menyerang otak. Sebuah studi oleh Institut Kesehatan Nasional AS menggambarkan bagaimana SARS-CoV-2 dapat menyebar jauh melampaui paru-paru dan saluran pernapasan.

Ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan sistem kekebalan untuk membersihkan virus dari tubuh bisa menjadi kontributor potensial untuk gejala COVID yang berkepanjangan, termasuk kabut otak.

  • Penyebaran Covid-19 ke seluruh penjuru dunia diawali dengan dilaporkannya virus itu pada 31 Desember 2019 di Wuhan, China

    COVID-19

  • Virus Corona adalah virus yang menyerang sistem pernapasan.

    Corona

  • COVID-19 varian baru telah masuk ke Indonesia. Tiga varian mutasi yang telah masuk itu dikenal dengan sebutan Alpha, Beta, dan Delta.

    gejala covid

  • Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan.
    Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan.

    kasus covid

  • Otak

  • penuaan