Sukses

Ortu Wajib Tahu, Alasan Remaja Mulai Merokok Selain Faktor Pertemanan

Faktor pertemanan memegang peranan besar yang menyebabkan remaja merokok. Namun, ada hal lain yang perlu diketahui ortu.

Liputan6.com, Jakarta Mungkin Anda pernah melihat ada remaja bahkan anak mulai merokok. Ada yang diam-diam sampai terang-terangan merokok meski dilarang oleh orangtuanya.

Berawal dari coba-coba, merokok bisa berujung seseorang menjadi pecandu rokok di kemudian hari. Penting bagi orangtua untuk mengetahui apa saja laasan remaja mulai merokok. Mulai dari faktor teman hingga paparan konten.

Berikut penjelasan masing-masing penyebabnya:

1. Lingkungan Pertemanan

Faktor yang satu ini memang umum terjadi pada anak mau pun remaja. Para ahli pun juga membenarkan bahwa faktor lingkungan pertemanan juga sangat memungkinkan sang anak atau remaja mulai menjadi seorang perokok aktif.

"Lingkungan juga berpengaruh. Biasanya pada remaja ini, biasanya lingkungan nih yang paling berperan," ungkap psikiater I Gusti Ngurah Agastya dari klinik Angsamerah Jakarta mengutip Antara.

Faktor pertemanan juga dapat menjadi pendorong seorang anak atau remaja untuk mulai merokok. Sebab, seorang anak terutama remaja sangat membutuhkan penerimaan atau pengakuan dari lingkungannya.

Sehingga pada saat ikut merokok dengan teman-teman, dia pun akan merasa diakui dan diterima oleh lingkungannya seperti disampaikan psikolog klinis Liza Marielly Djaprie.

"Kedua bisa juga karena pengaruh lingkungan di lingkungan remaja atau anak-anak. Karena kalau berbicara anak dan remaja, khususnya remaja, mereka itu kan punya kebutuhan yang sangat besar untuk bisa diterima lingkungan," ujar Liza.

"Sehingga ketika lingkungannya, khususnya teman-teman mereka yang terdekat merokok tuh mereka jadi berpikir 'Kayaknya gue mesti ikutan'. Apalagi kalau teman-temannya juga ngejek-ngejek. Jadi bisa karena pengaruh itu juga," sambungnya.

2 dari 4 halaman

2. Proses Berpikir Kurang Tepat

Ketika seorang anak atau remaja sering melihat lingkungannya baik teman atau keluarga merokok. Hal tersebut bisa membuat seseorang menjadi memiliki proses berpikir yang kurang tepat atau disebut Cognitive Disorder.

"Kalau kita berbicara hubungan antara anak remaja dengan perilaku merokok, itu sebenarnya banyak faktor yang terlibat. Bisa karena mereka terekspos sejak dini akan perilaku merokok orang-orang sekitarnya. Sehingga mengalami yang kalau di psikologi itu namanya Cognitive Dissonance," jelas Liza kepada Antara.

Cognitive Disonance adalah proses berpikir yang kurang tepat. Seseorang yang mengalami hal ini biasanya memiliki proses berpikir yang salah menjadi benar dan sebaliknya.

Menurut Liza, hal tersebut karena anak dan remaja sering melihat orang-orang yang dituakan dalam keluarga seperti orang tua, kakak, dan lain sebagainya memiliki kebiasaan merokok. Hal inilah yang mengakibatkan sang anak berpikir bahwa kebiasaan merokok tidak apa-apa untuk dilakukan.

"Jadi, bayangkan kalau anak kecil sangat terbiasa melihat orang-orang terdekatnya, apalagi figur yang dituakan merokok kan asumsinya karena ini adalah figur orang yang dituakan, biasanya anak atau remaja cenderung melihat mereka sebagai orang yang sudah pasti benar," kata Liza.

3 dari 4 halaman

Faktor Genetik

Agastya mengatakan bahwa faktor genetik pun juga dapat menjadi alasan seorang remaja untuk mulai merokok.

"Bisa juga dari secara biologis memang ada juga nih yang dialami sama remaja tersebut. Jadi secara genetiknya memungkinkan seseorang lebih berisiko untuk memulai merokok," tuturnya.

Paparan Konten

Psikolog dari Universitas Indonesia A. Kasandra Putranto mengatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan sangat berperan untuk menimbulkan kebiasaan merokok. Akan tetapi, kebiasaan untuk merokok juga dapat timbul dari konten-konten yang dilihat oleh sang anak baik dari media sosial atau media formal.

"Banyak kemungkinan terkait alasan anak atau remaja merokok. Mulai dari aspek genetik, pola asuh, hasil belajar, sampai peran lingkungan termasuk konten media baik media formal mau pun media sosial," kata Kasandra.

Pernyataan itu juga dijelaskan oleh Liza. Menurutnya, saat seorang anak atau remaja sudah terpapar oleh konten-konten merokok, hal tersebut pun sudah terprogram secara tidak langsung di otak mereka.

Sehingga, hal ini juga berkenaan dengan tingkat stres mereka. Saat sang anak atau remaja merasa stres, mereka akan langsung mengaktivasi program merokok yang telah mereka miliki di dalam otaknya. Oleh sebab itu, hal inilah yang menyebabkan mereka mencoba untuk mulai merokok.

"Bisa juga karena stres. Karena tidak ada exposure dari lingkungan, dari kecil tidak ada ejek-ejekan dari teman, tapi kan dia sering melihat orang merokok. Jadi program merokok itu sudah ada di kepala. Sudah ada di otak. Tinggal tunggu aktivasinya nih," papar Liza.

"Nah ketika dia merasa stres, bisa teraktivasi 'Merokok saja kali ya, enak". Itu karena dia sudah sering melihat mungkin di film atau apa pun itu yang berkaitan dengan orang merokok," tutupnya.

 

4 dari 4 halaman

Perokok di RI Terus Bertambah, Aneka Penyakit Mengintai

Riskesdas juga menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia masih sangat tinggi. Jumlah ini mencapai lebih kurang 33,8 persen atau 1 dari 3 orang di Indonesia merokok.

“Ini memberikan kontribusi besar pada kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Perokok pria berjumlah 63 persen atau 2 dari 3 pria di Indonesia adalah perokok,” kata Wamenkes RI Dante Saksono dalam seminar daring beberapa waktu lalu. 

Peningkatan prevalensi merokok cenderung lebih tinggi pada usia remaja yakni 10 sampai 18 tahun sekitar 7,2 persen. Jumlah ini naik jadi 9,1 persen di 2018 atau hampir 1 dari 10 anak di Indonesia adalah perokok.

“Jika kebiasaan merokok diteruskan selama bertahun-tahun maka risiko PPOK dapat terjadi di usia dewasa atau di usia produktif. Sehingga, implikasi kesehatan dapat terhambat dengan adanya paparan rokok pada anak. Ini masih menjadi PR bersama,” pungkasnya.