Liputan6.com, Jakarta - Sebagian orang menganggap bahwa rokok elektronik adalah pilihan alternatif untuk lepas dari kebiasaan mengonsumsi rokok konvensional alias batangan.
Padahal, menurut dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Feni Fitriani Taufik, baik rokok elektronik seperti vape maupun batangan sama-sama berbahaya.
Baca Juga
"Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) seperti vape diklaim bisa sebagai sarana berhenti merokok. Padahal, jelas-jelas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan PDPI tidak merekomendasikan hal tersebut," kata Feni dalam konferensi pers PDPI pada Senin, 30 Mei 2022.
Advertisement
PDPI memberikan informasi dan meluruskan anggapan terkait rokok elektronik sebagai pengganti rokok konvensional. Sebetulnya, anggapan tersebut keliru dan rokok elektronik memiliki bahaya kesehatan yang sama dengan rokok konvensional.
Lebih lanjut Feni, mengatakan, rokok elektronik juga tidak direkomendasikan sebagai alat bantu berhenti merokok karena memiliki risiko mencetuskan adiksi yang sama dengan konvensional.
Zat kimia berbahaya pada rokok elektronik berada pada cairan atau liquid yang dipanaskan. Cairan ini mengandung nikotin, propilen glikol dan gliserin.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh RS Persahabatan mendapatkan bahwa pada urine perokok elektronik terdapat kadar residu nikotin yang kadarnya sama dengan urine perokok konvensional. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa rokok elekronik tidak aman.
"Makanya rokok elektronik disebut 'bahayanya lebih rendah' berarti masih ada bahaya. Sasarannya adalah generasi muda yang memang sering mencoba produk-produk baru," ujarnya.
Kita tahu, lanjut Feni, bahan-bahan yang ada pada produk tembakau lainnya itu hampir sama dengan rokok konvensional dan bahayanya juga sama.
Jika terjadi akumulasi di dalam tubuh, maka banyak efek berbahaya yang bisa terjadi. Yang paling sering itu iritasi, batuk-batuk, dan infeksi saluran napas akut.
Â
Malah Jadi Dual User
Di sisi lain, penggunaan rokok elektronik juga tidak direkomendasikan lantaran alih-alih membuat penggunanya berhenti merokok, malah membuatnya menjadi pengguna dua jenis rokok (dual user).
"Pada praktiknya, sering kali pengguna rokok elektronik atau lainnya itu alih-alih berhenti dari rokok konvensional malah jadi dual user,"Â kata Feni.
"Pengguna tetap menggunakan rokok konvensional dalam jumlah sedikit, tapi juga menggunakan rokok elektronik dan produk lainnya karena kebutuhan nikotin yang sebetulnya tidak terpenuhi. Jadi untuk memenuhi kebutuhan nikotin itu digunakanlah dua produk tersebut," dia menambahkan.
Hal ini tentunya bertolak belakang dengan target pemerintah yakni untuk membuat para perokok berhenti merokok demi kesehatan.
"Kita harus mencerdaskan masyarakat, bahwa pilihannya itu bukan menggantikan tapi menghentikan konsumsi rokok," ujarnya.
Sebab, penggunaan tembakau pada rokok di Indonesia menjadi penyebab utama kematian kedua di dunia.
Rokok juga merupakan salah satu penyebab kematian yang dapat dicegah terhadap penyakit terkait rokok pada paru seperti bronkitis kronis, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), emfisema dan kanker paru.
Advertisement
Bahaya Rokok
Selain itu, rokok juga meningkatkan risiko penyakit pada organ lain seperti penyakit jantung koroner, stroke, risiko impotensi pada organ reproduksi. Rokok juga dapat memperburuk kondisi penyakit kronik yang sudah ada seperti diabetes melitus dan hipertensi.
Feni menambahkan bahwa angka kejadian penyakit ini mulai terdeteksi pada usia lebih dini yaitu 30-44 tahun sebesar 45 persen.
Data menunjukkan semakin dini memulai kebiasaan merokok dengan usia rata-rata 17,6 tahun meningkatkan risiko penyakit terkait rokok pada populasi usia muda.
Data terbaru menunjukkan, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) penggunaan tembakau pada anak muda usia 13-15 tahun mencapai 33,8 persen pada total populasi dewasa usia di atas 15 tahun.
Survei oleh Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2018 juga menunjukkan, penggunaan tembakau pada anak muda mencapai 19,2 persen dari populasi dengan dominasi remaja putra.
Data merokok dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 di Indonesia juga menunjukkan bahwa 19,2 persen pelajar merokok terdiri dari 35,5 persen laki-laki dan 2,9 persen perempuan.
Survei ini mendapatkan dua pertiga dari mereka dapat membeli rokok secara ecer tanpa ada hambatan.
Rokok Model Baru
Selain rokok konvensional dan rokok elektronik atau vape, ada jenis rokok baru yang mulai dikenalkan kepada masyarakat yakni rokok yang dipanaskan atau Heat Not Burn (HNB).
Menurut Feni, produk tembakau yang dipanaskan walaupun secara praktiknya tidak mengandung asap tapi pada prinsipnya tetap memiliki unsur tembakau.
Semua bentuk metabolisme tembakau akan menghasilkan nikotin yang menstimulasi otak dan menyebabkan candu atau adiksi.
Selain itu, berbagai hasil residu rokok elektronik dalam bentuk logam dan partikel masih memiliki risiko jangka panjang yang bersifat karsinogenik.
"Imbauan kepada masyarakat yang memiliki kebiasaan merokok, pertimbangan faktor kesehatan bukan hanya pada perokok itu sendiri tetapi juga lingkungan sekitar perokok seperti keluarga," ujarnya.
Perokok pasif memiliki ancaman risiko kesehatan terdampak rokok juga hal ini pernah ditemukan dalam penelitian pada anggota keluarga yang kontak erat dengan perokok.
Kadar residu nikotin yaitu kotinin urine meningkat lebih besar dibandingkan yang tanpa kontak dengan perokok.
Â
Advertisement