Liputan6.com, Jakarta - Stunting adalah kondisi kurang gizi kronis, bukan sekadar gangguan pertumbuhan. Selain anak menjadi pendek, fungsi kognitif otaknya pun ikut terdampak, dan ini sulit dipulihkan lagi.
Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Mayapada Kuningan, dr Kurniawan Satria Denta MSc SpA, mengatakan, bayi baru lahir pun bisa stunting, bila sejak dalam kandungan tidak mendapat asupan gizi yang baik, lantaran ibu kurang gizi selama hamil.
Baca Juga
Apabila asupan gizi ibu selama hamil baik, tentu bayi akan terhindar dari stunting. Apalagi jika bayi mendapat ASI eksklusif selama enam bulan. Yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MPASI)
Advertisement
"Nah, di tahap ini bisanya terjadi masa kritis, atau risiko kekurangan gizi," kata Denta dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Rabu, 1 Juni 2022.
Oleh sebab itu, kebutuhan nutrisi di usia enam bulan selepas ASI ekslusif meningkat pesat. Ada celah yang lebar antara kebutuhan nutrisi dan kalori, yang tidak bisa dipenuhi dengan ASI saja.
"Kalau celah ini tidak terpenuhi, maka tentu akan terjadi gangguan pertumbuhan, gangguan status gizi, dan bila dibiarkan saja tanpa intervensi, terjadilah stunting," dia menambahkan.
Dilanjutkan Denta bahwa MPASI adalah waktu yang tepat untuk memerkenalkan protein, baik hewani maupun nabati. Tentunya, prinsip pemberian MPASI adalah makanan dengan gizi lengkap dan seimbang.
Artinya, kata Denta, juga harus mengandung juga karbohidrat, lemak dan vitamin serta mineral.
"Yang pasti MPASI tidak bisa menu tunggal, misalnya hanya sayur atau buah saja," ujarnya.
Pentingnya Edukasi untuk Calon Ibu
Usaha pencegahan stunting harus dimulai dari hulu, jauh sejak sebelum masa konsepsi. Yaitu sejak masa calon pengantin, bahkan remaja.
"Bila calon pengantin menikah dalam kondisi anemia dan kurang gizi lalu hamil, ini akan menjadi awal dari masalah kurang gizi pada bayi dan baduta kita," kata Penyuluh KB Ahli Utama Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dwi Listyawardani.
Dani --- begitu dia akrab disapa --- mengatakan bahwa 40 persen calon pengantin perempuan mengalami anemia. Ini sejalan dengan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang menyatakan, angka anemia pada wanita usia subur (WUS) mencapai 48,9 persen.
Yang lebih gawatanya, 35 persen calon pengantin perempuan mengalami kurang energi kronis (KEK) alias sangat kurus. Sementara itu, intervensi untuk mengatasi KEK membutuhkan waktu lebih lama.
"Kalau anemia, bisa membaik dalam beberapa bulan setelah diberi tablet penambah darah. Sedangkan untuk membuat tubuh lebih berisi, akan lebih lama," ujarnya.
Dia pun menyayangkan banyak remaja putri yang mengikuti tren gaya hidup yang kurang sehat. Misalnya, diet sembarangan karena ingin bertubuh kurus seperti bintang film.
BKKBN memiliki program Generasi Berencana yang sasarannya adalah kalangan remaja.
"Kami mulai membangun opini bahwa tubuh terlalu kurus tidaklah sehat, dan menyampaikan opini seperti apa remaja yang sehat," kata Dani.
Kriteria sehat dan cukup gizi antara lain: indeks massa tubuh (IMT) >18,5 – 24,9; lingkar lengan atas >23,5 cm, dan Hb 12 – 13 g/dL.
Advertisement
Hal Penting yang Harus Dilakukan Sebelum Nikah
Dani lalu mengimbau agar calon pengantin sebaiknya mendaftarkan pernikahan tiga bulan sebelumnya. Sebab, calon pengantin perlu diukur IMT dan lingkar lengan atas, serta diperiksa kadar Hb-nya.
"Dengan demikian seandainya kurang masih ada waktu untuk perbaikan," ujar Dani.
Lantas, apa jadinya bila calon pengantin perempuan ternyata mengalami anemia dan KEK?
"Kita sarankan untuk menunda dulu kehamilan pertama. Tentunya dengan edukasi, sehingga ia paham bahwa kondisinya belum siap untuk hamil. Karena bila ibu hamil dalam kondisi tidak prima, tumbuh kembang janin tidak optimal, dan anak yang dilahirkan berisiko stunting," katanya.
"Belum lagi setelah bayi lahir. Ibu yang kekurangan gizi dan anemia, akan sulit memberikan ASI eksklusif, padahal ASI eksklusif adalah salah satu upaya utama pencegahan stunting setelah bayi lahir," dia menambahkan.
Cukup menyesakkan, kata Dani, ada sekitar 30 hingga 40 persen bayi yang tidak bisa mendapat ASI. Ini adalah persoalan utama sehingga banyak anak stunting. Masalahnya tak berhenti di sana; MPASI pun banyak yang bermasalah.
"Anak yang mendapat ASI, setelah enam bulan tidak mendapat MPASI yang baik. Akhirnya yang tadinya normal, bisa menjadi stunting," Dani menekankan.
Pentingnya Edukasi Gizi
Menilik berbagai persoalan di atas, edukasi gizi untuk calon ibu pun menjadi hal yang mutlak, bila kita ingin mencegah stunting, dan memutus mata rantainya.
Remaja putri harus sadar dan paham untuk mengasup zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan mikro (vitamin, mineral) dalam jumlah yang cukup setiap hari.
Beberapa salah kaprah di masyarakat juga perlu diluruskan. Misalnya saja, tabu terhadap beberapa protein hewani.
"Ibu hamil tidak boleh makan telur, udang, ikan, susu. Memang ada yang alergi, tapi itu kan kasus tertentu, dan bisa diganti dengan sumber protein yang lain," ujar Dani.
Hanya ibu hamil yang alergi terhadap telur, makanan laut, dan makanan lain yang perlu menghindari makanan tersebut. Bila tidak alergi dan tidak ada kondisi lain yang perlu menghindari makanan tertentu, tidak perlu memantang makanan.
Advertisement