Sukses

Tak Berpotensi Pandemi, Epidemiolog Sebut Cacar Monyet Bisa Jadi Epidemi

Ahli epidemiologi Dicky Budiman menyampaikan bahwa cacar monyet atau monkeypox tidak berpotensi menjadi pandemi baru, tapi jelas bisa menjadi epidemi.

Liputan6.com, Jakarta Ahli epidemiologi Dicky Budiman menyampaikan bahwa cacar monyet atau monkeypox tidak berpotensi menjadi pandemi baru, tapi jelas bisa menjadi epidemi.

“Update terakhir menyatakan bahwa cacar monyet tidak berpotensi menjadi pandemi baru tapi sangat berpotensi menjadi epidemi,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan video ditulis Kamis (2/6/2022).

Pernyataan ini selaras dengan keterangan seorang pakar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr. Rosamund Lewis. Menurutnya, ratusan kasus cacar monyet yang dilaporkan sejauh ini tidak akan beralih menjadi pandemi.

Namun, Lewis mengakui, masih banyak hal yang belum diketahui tentang penyakit ini, termasuk bagaimana penyakit ini menyebar dan apakah penghentian imunisasi cacar air massal dari puluhan tahun lalu telah mempercepat penularannya.

Lewis mengatakan badan kesehatan itu sedang menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini termasuk apakah cacar monyet bisa menyebar lewat hubungan seks, lewat udara, dan apakah orang-orang tanpa gejala mampu menularkan penyakit ini.

Dia mengatakan, perkembangan penyakit cacar monyet di masa lalu menunjukkan penyakit ini tidak mudah menyebar. Untuk itu, masih ada waktu membendung masalah yang sekarang muncul.

Otoritas kesehatan di Inggris mengeluarkan pedoman baru untuk mengendalikan penyebaran virus cacar monyet di negara tersebut.

Pedoman yang dikeluarkan oleh Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) serta rekan-rekannya di Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara, menetapkan langkah-langkah bagi profesional kesehatan dan masyarakat untuk mengelola penyakit dan mencegah penularan lebih lanjut.

Angka resmi terbaru menunjukkan, sekarang ada lebih dari 100 kasus monkeypox yang dikonfirmasi di Inggris, mengutip laman Xinhua, Selasa (31/5/2022).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Potensi Menular Melalui Droplet

Dicky pun merespons update data klinis pasien monkeypox atau cacar monyet di Eropa.

Menurutnya, salah satu yang paling mengemuka adalah keluhan yang semakin jelas di saluran napas atas khususnya di rongga mulut. Ini berupa lesi atau luka yang akhirnya membuat pasien menjadi sulit menelan makanan dan minuman.

“Pesan penting yang ingin saya sampaikan di sini adalah ada potensi penularan dari droplet atau percikan saliva pasien,” ujar Dicky.

Melihat potensi ini, Dicky mengimbau masyarakat bahwa penggunaan masker menjadi sangat penting.

“Kenapa masker penting untuk mencegah monkeypox? Karena ada potensi penularan dari droplet yang berasal dari saluran napas atas. Selain itu juga tentu kebiasaan mencuci tangan menjadi penting dan menghindari kebiasaan membagi makanan dengan orang lain juga penting.”

“Dan apakah bisa masuk ke Indonesia? Potensinya sangat jelas ada dan tentu kita harus siap dengan lakukan deteksi dini dan melakukan perubahan perilaku yang lebih sehat dan bersih ini sangat penting dilakukan.”

“Upaya lainnya yaitu menyiapkan vaksin yang saat ini tentu belum diperlukan dalam jumlah besar tapi setidaknya skenario persiapan vaksin menjadi salah satu hal penting.”

3 dari 4 halaman

Langkah Kewaspadaan Indonesia

Mengingat cacar monyet berpotensi masuk ke Tanah Air, maka pemerintah mulai melakukan langkah-langkah kewaspadaan.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril menyampaikan beberapa upaya kewaspadaan yang telah dilakukan Indonesia untuk menghadang cacar monyet.

Upaya kewaspadaan itu meliputi 4 poin yakni:

-Mengupdate situasi dan Frequently Asked Question (FAQ) terkait monkeypox yang dapat diunduh melalui https://infeksiemerging.kemkes.go.id/.

-SE untuk meningkatkan kewaspadaan baik di wilayah dan KKP termasuk untuk dinas kesehatan (dinkes), rumah sakit, kantor kesehatan pelabuhan dan sebagainya.

-Melakukan revisi pedoman pencegahan dan pengendalian monkeypox menyesuaikan situasi dan update WHO yang berisi mengenai surveilans, tatalaksana klinis, komunikasi risiko, dan pengelolaan laboratorium.

-Pemeriksaan kapasitas lab pemeriksaan dan rujukan.

Lantas, dengan upaya kewaspadaan tersebut apakah Indonesia siap untuk menghadang monkeypox?

Menjawab pertanyaan tersebut, Dicky mengatakan, dari sisi surveilans dan infrastruktur seharusnya Indonesia memang sudah lebih siap dibanding saat melawan COVID-19 yang penularannya lebih cepat.

“Tapi itu juga akan bergantung kepada respons, karena bicara siap itu tetap kemampuan surveilans, tenaga tracing, sistemnya, termasuk ada enggak vaksinnya? Karena vaksin yang relatif aman dan dianjurkan itu yang terkini, Nordic, yang relatif terbatas aksesnya.”

4 dari 4 halaman

Kesiapan Fifty Fifty

Terkait situasi ini, Dicky menyimpulkan bahwa kesiapan Indonesia dalam menghalau monkeypox terbilang 50 banding 50 atau fifty fifty.

“Jadi kalau saya lihat, fifty fifty lah kesiapannya karena ini bicara juga suatu respons untuk menghadapi penyakit dengan masa inkubasi panjang, kemampuan deteksi dini, tracing, dan literasi menjadi sangat penting,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara.

Ia menambahkan, cacar monyet belum sebanding dengan COVID-19. Dari sisi kecepatan penularan, monkeypox di bawah COVID.

Namun, monkeypox tidak bisa dianggap remeh karena ini adalah “sepupu” dari penyakit virus yang sempat menjadi pandemi besar penyebab kematian ratusan juta orang yang disebut smallpox atau variola.

“Jadi ya enggak bisa dan enggak boleh dianggap remeh.”

Cacar monyet sendiri secara aspek epidemiologi sudah banyak diketahui walau belum menyeluruh, lanjut Dicky. Berbeda dengan hepatitis akut atau acute hepatitis of unknown aetiology yang masih misterius.

“Ini yang disayangkan, karena ini (monkeypox) adalah penyakit endemi lama, tapi karena dikesampingkan karena dianggap sebagai penyakit endemik di Afrika akhirnya semua bertanya-tanya kenapa bisa ada di luar Afrika, berarti ada beberapa hal yang belum diketahui secara utuh,” pungkasnya.