Liputan6.com, Jakarta Ahli epidemiologi Dicky Budiman menyampaikan, memasuki tahun ke-3 ada berbagai hal yang perlu dipahami terkait pandemi COVID-19.
“Memasuki tahun ke-3 ini kita harus memahami perubahan baik dari sisi situasi global, dari sisi modal imunitas, dari sisi karakter virus itu sendiri dan strain yang ada, juga perubahan dari sisi kebijakan intervensi kesehatan,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com belum lama ini.
Baca Juga
Semua hal itu saling terkait dan memiliki dampak. Di tahun ke-3 ini akan sangat logis dan wajar jika kasus meningkat tinggi. Pasalnya, varian Omicron dan turunannya memiliki angka reproduksi mendekati 10 yang artinya sangat tinggi.
Advertisement
“Dengan angka reproduksi tersebut, maka besar kemungkinan Omicron bersirkulasi bukan hanya di antara orang yang belum divaksinasi, bukan hanya di antara orang yang sudah vaksinasi dosis satu atau pernah kena infeksi, tapi juga bisa menginfeksi beberapa orang yang sudah vaksinasi tiga dosis.”
Namun jika sudah memiliki imun yang memadai, maka infeksi umumnya tidak menimbulkan gejala. Jika pun ada, maka gejalanya ringan. Meski begitu, penularan tetap terjadi.
“Makanya, kita melihat khususnya di negara-negara maju yang cakupan tesnya masih cukup memadai seperti Amerika itu sehari bisa 200 ribu (kasus positif COVID-19). Bahkan, beberapa negara bisa lebih tinggi ketimbang saat Delta mendominasi.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mengapa Disebut Wajar?
Dicky menyebut hal ini wajar lantaran sub varian Omicron memang sangat efektif. Ini diperparah dengan perilaku masyarakat yang mulai abai, lebih longgar, bahkan pemerintah di berbagai negara sudah menerapkan pelonggaran.
“Kombinasi inilah yang menimbulkan adanya ekspektasi bahwa kita bisa menemukan atau akan menemukan banyak kasus.”
Namun dalam konteks saat ini, tentunya semua pihak tidak hanya perlu fokus pada indikator kasus infeksi. Dicky menyebut bahwa indikator kasus infeksi bukan prioritas. Memang kejadian infeksi sulit dihindari, tapi mayoritas masyarakat sudah divaksinasi. Makanya mayoritas pasien tidak bergejala sehingga beban ke fasilitas kesehatan menurun.
“Nah indikator yang harus menjadi perhatian saat ini adalah di rumah sakit. Berapa orang yang masuk rumah sakit dengan gejala parah. Kemudian dalam konteks Indonesia juga kunjungan rumah, memastikan tidak ada yang sakit dengan gejala parah dan tidak dirujuk ke rumah sakit.”
Indikator ini selanjutnya akan berkontribusi pada kasus kematian. Selain itu, Indonesia juga harus menjaga kualitas dan kuantitas di surveilans genomik untuk melihat karakter virus.
Advertisement
Mulai Naik
Pernyataan Dicky senada dengan kejadian di lapangan khususnya di Indonesia. Di mana Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito melaporkan bahwa kasus COVID-19 di Tanah Air memang mengalami peningkatan.
“Perlu jadi perhatian bahwa terjadi kenaikan pada tren kasus positif (COVID) selama tiga minggu terakhir dan kasus aktif selama empat hari terakhir,” ujar Wiku dalam konferensi pers yang tayang di saluran YouTube Sekretariat Presiden Rabu (8/6/2022).
Ia menambahkan, jika dilihat dari grafik kasus positif mingguan terjadi kenaikan 571 atau 31 persen dari kasus tanggal 22 Mei 2022. Yakni dari 1.814 menjadi 2.385 kasus mingguan.
Kemudian pada kasus aktif harian, terjadi kenaikan 328 atau 10 persen dari kasus aktif tanggal 2 Juni 2022. Yakni 3.105 menjadi 3.433 kasus aktif harian.
“Hal ini penting untuk diwaspadai mengingat selama tiga bulan berturut-turut sejak gelombang Omicron kita berhasil mempertahankan kasus agar tetap stabil. Kabar baiknya, kenaikan kasus ini tidak diikuti kenaikan pada tren BOR rumah sakit, isolasi harian, maupun tren kematian mingguan.”
Provinsi dengan Sumbangan Kasus Terbanyak
Tren Bed Occupancy Rate (BOR) atau keterisian tempat tidur rumah sakit tetap stagnan. Sedangkan, tren kematian mingguan masih terus menunjukkan penurunan sebagai tanda yang baik.
Wiku juga merinci provinsi-provinsi yang menyumbang kasus COVID-19 terbanyak. Ia pun mengimbau agar pemerintah daerah di setiap provinsi memerhatikan penambahan kasus ini.
Provinsi pertama yang disebut oleh Wiku adalah DKI Jakarta. Kenaikan kasus di DKI Jakarta adalah 30 persen.
“Yang kedua Banten mengalami kenaikan 38 persen, yang ketiga Jawa Barat mengalami kenaikan 18 persen, keempat Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami kenaikan 45 persen, dan kelima Jawa Timur mengalami kenaikan 37 persen.”
Dapat dilihat, lanjutnya, bahwa kelima provinsi berasal dari Pulau Jawa. Hal ini sejalan dengan penduduk Indonesia yang terpusat di Pulau Jawa. Dan aktivitas masyarakat yang saat ini kembali normal bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya kenaikan kasus aktif.
“Namun kabar baiknya, dari kelima provinsi ini meskipun mengalami kenaikan kasus aktif tapi masih cenderung menunjukkan penurunan angka kematian dan masih terjaganya persentase BOR di bawah 3 persen.”
Advertisement