Sukses

Populasi Lansia Meningkat 2 Kali Lipat di 2050, Ancaman Kanker Darah Mengintai

Kanker darah menjadi ancaman bagi lansia yang populasinya diperkirakan meningkat dua kali lipat di 2050

Liputan6.com, Jakarta Pada periode tahun 2015 hingga 2050, proporsi populasi dunia di atas 60 tahun atau lanjut usia (lansia) akan naik hampir dua kali lipat, dari 12 persen menjadi 22 persen.

Pada 2030, 1 dari 6 orang di dunia akan berusia 60 tahun atau lebih. Jumlah orang berusia 80 tahun atau lebih diperkirakan tiga kali lipat antara tahun 2020 dan 2050 mencapai 426 juta.

Data ini diproyeksikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai imbauan bahwa dunia harus bersiap menghadapi masyarakat yang menua.

Dengan laju penuaan yang lebih cepat, salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh semua negara adalah memastikan kesiapan sistem kesehatan dan sosial. Penuaan merupakan dampak dari kerusakan molekul dan sel tubuh dari waktu ke waktu yang mengakibatkan peningkatan risiko penyakit dan kematian.

Salah satu penyakit yang menyerang di usia lanjut adalah kanker darah. Diketahui, darah menyumbang sekitar 8 persen dari berat badan normal manusia dan berfungsi untuk memasok oksigen, nutrisi, hormon, dan antibodi ke seluruh tubuh.

Darah terdiri dari campuran plasma dan sel darah (sel darah merah, sel darah putih dan trombosit). Kanker disebabkan oleh disfungsi dalam pertumbuhan sel.

Dalam tubuh yang sehat, sel darah putih baru secara teratur dihasilkan untuk menggantikan yang lama dan rusak. Namun, pada pasien kanker darah terjadi produksi atau pertumbuhan sel darah yang berlebihan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Pentingnya Pemahaman Kanker Darah

Menurut Country Leader of Communication and Public Affairs dari PT Johnson & Johnson Indonesia, Devy Yheanne, pemahaman mengenai bahaya kanker darah untuk usia lanjut sangat diperlukan terlebih dengan adanya laju pertumbuhan lansia yang lebih cepat.

“Indonesia yang merupakan negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia juga harus bersiap menghadapi naiknya jumlah penduduk berusia lanjut yang diperkirakan akan sebesar 11 persen pada tahun 2035,” kata Devy mengutip keterangan pers Johnson & Johnson Minggu (12/6/2022).

Di negara yang lebih maju, jumlah total kasus baru kanker darah yang terjadi pada orang berusia 70 tahun atau lebih mewakili 45 persen dari total kasus. Keganasan ini terkait erat dengan usia dan tingkat insiden meningkat secara eksponensial setelah umur 50 tahun.

Angka kematian di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular (PTM). Lebih lanjut, menurut Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2018, sebagian besar PTM seperti kanker, stroke, penyakit ginjal, penyakit sendi, DM, penyakit jantung, hipertensi, dan kelebihan berat badan/obesitas, menunjukkan tren peningkatan dibandingkan laporan sebelumnya pada tahun 2013.

3 dari 4 halaman

3 Golongan Kanker Darah

Dalam keterangan yang sama, dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi onkologi Nadia Ayu Mulansari menjelaskan bahwa penyakit kanker darah dapat digolongkan ke dalam tiga golongan.

Ketiga golongan tersebut yakni Limfoma, Leukemia dan Myeloma dengan penjelasan sebagai berikut:

Limfoma

Limfoma sering juga disebut sebagai kanker getah bening atau kanker sistem limfatik. Kanker ini berkembang pada limfosit dan dapat juga mempengaruhi kelenjar getah bening, sumsum tulang, limpa dan bagian tubuh lainnya.

Limfosit atau sistem limfatik ini bekerja untuk menghasilkan sel-sel kekebalan tubuh. Sehingga bila limfosit tidak normal, maka akan mengurangi kekebalan tubuh penderita dari ancaman penyakit dari luar.

Ada dua jenis limfoma, yaitu Limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Limfoma Hodgkin terbentuk dari limfosit tipe sel B dan lebih jarang terjadi. Sedangkan Limfoma non-Hodgkin terjadi pada sel B atau sel T.

Leukemia

Leukemia adalah jenis kanker yang cukup dikenal oleh masyarakat karena lumayan sering terjadi. Selain itu banyak juga yang salah paham dan menyamakan kanker darah dengan leukemia.

Leukemia sendiri merupakan kanker sel darah putih yang menyebabkan berhentinya sel darah putih dalam melawan infeksi. Selain berhenti melawan infeksi, leukemia juga menyebabkan terganggunya produksi sel-sel darah merah pada sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah dan trombosit.

Berdasarkan sifatnya, leukemia bisa dibagi menjadi dua jenis yaitu leukemia akut dan leukemia kronis. Leukemia kronis lebih berbahaya dan lebih sulit diobati daripada leukemia akut. Pada dasarnya leukemia akut maupun leukemia kronis ini dapat menyerang anak-anak maupun orang dewasa.

Myeloma

Jenis kanker darah yang terakhir adalah Myeloma. Ini terbentuk dari sel plasma yang ganas. Plasma darah adalah salah satu komponen cairan darah yang menjadi medium sel-sel darah.

Sel plasma darah ini menghasilkan antibodi untuk membunuh kuman dalam tubuh. Sel plasma terdapat di sumsum tulang dan merupakan bagian dari sistem imun yang penting. Kanker sel plasma atau myeloma ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan rentan terserang infeksi.

4 dari 4 halaman

Penyebab Kanker Darah

Menurut Nadia, penyebab pasti penyakit kanker darah sampai saat ini masih belum diketahui, tetapi bersifat multifaktorial.

“Salah satu mekanisme yang diduga terkait adalah penurunan imunitas adaptif yang berhubungan dengan penambahan usia sehingga risiko mengalami kanker darah akan meningkat pada usia lanjut.”

Ia menambahkan, beberapa gejala yang dianggap sebagai gejala alarm antara lain demam yang berulang dan penurunan berat badan yang sulit dijelaskan. Diagnosis pasti penyakit kanker darah akan ditegakkan oleh dokter ahli hematologi dan onkologi medis.  

Head of Medical Affairs dari PT Johnson & Johnson Indonesia, dr. Rospita Dian lebih lanjut mengatakan, kesadaran akan penyakit kanker darah pada umumnya belum setinggi pada penyakit kanker organ padat.

Rospita menambahkan, kanker darah yang banyak menyerang lansia seringkali tidak menunjukkan gejala atau tanda yang spesifik sehingga berpotensi terjadi keterlambatan diagnosis.

“Dengan demikian, deteksi dini sangat penting untuk mendapatkan pengobatan sejak dini serta pemantauan berkala untuk mengoptimalkan keberhasilan terapi,” Tutupnya.