Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu lalu sempat ramai dibicarakan kampung banyak anak yang ada di di Kampung Siderang Legok, Desa Cintanagara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Di kampung tersebut, mayoritas warga bekerja sebagai petani musiman. Rata-rata pasangan suami istri di sana punya banyak [anak](https://www.liputan6.com/tag/anak ""), bisa 10 anak atau lebih. Melihat fenomena tingginya jumlah anak di sana, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan bahwa ini adalah persoalan serius.
Baca Juga
“Ini adalah hal persoalan serius yang harus disikapi dan dicarikan jalan keluarnya. Provinsi Jawa Barat memiliki populasi tertinggi di Pulau Jawa dan Jawa Barat juga memiliki prevalensi stunting tinggi dengan angka 24 persenlebih,” kata Hasto.
Advertisement
Hasto menilai fenomena kampung banyak anak tersebut memiliki korelasi dengan angka prevalensi stunting di Jawa Barat yang tinggi.
“Jawa Barat masuk dalam 12 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi,” kata Hasto dalam keterangan pers yang diterima Liputan6.com.
Tingginya prevalensi stunting di Jawa Barat menurut Hasto disebabkan karena jumlah anak yang banyak dalam satu keluarga, rentang waktu kelahiran yang cukup rapat, serta pernikahan dini.
Selama pandemi COVID-19, pernikahan dini di Jawa Barat jumlahnya mengalami peningkatan. Padahal perkawinan usia dini menyebabkan tingginya risiko kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta bayi yang stunting karena ketidakcukupan nutrisi selama kehamilan.
Buang Jauh Pikiran Banyak Anak Banyak Rezeki
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi, infeksi berulang, dan stimulasi lingkungan yg kurang mendukung. Kondisi ini berefek jangka panjang hingga lanjut usia. Stunting berdampak sangat buruk bagi masa depan anak-anak.
Melihat risiko yangbesar bagi anak-anak, Hasto meminta agar orangtua membuang jauh pikiran banyak anak banyak rezeki.
“Kondisi saat ini sangat berbeda dengan dahulu. Sekarang kalau banyak anak maka banyak masalah,” kata Hasto.
Provinsi Jawa Barat menurut data di BKKBN memiliki TFR (total fertility rate) tertinggi di Indonesia. Karena itu Hasto berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus mempertahankan dukungannya terhadap Penyuluh KB non-PNS.
Masyarakat perlu memperbarui paradigma tentang KB (keluarga berencana). “Masyarakat jangan hanya berpikir kalau KB itu kaitannya dengan alat kontrasepsi. Masyarakat harus berpikir bahwa KB adalah perencanaan keluarga dan juga perencanaan masa depan anak-anak,” jelas Hasto.
Advertisement
Banyak Anak Bukan Bonus Demografi
Hasto juga mengatakan banyaknya anak dalam satu keluarga bukanlah merupakan bonus demografi.
Menurut Hasto, bonus demografi bisa dicapai jika jumlah penduduk yang produktif lebih banyak dibanding jumlah penduduk yang tidak produktif. Bonus demografi itu menghasilkan kesejahteraan.
“Jadi jika dalam satu keluarga punya banyak anak namun yang bekerja hanya satu orang, misalnya hanya bapaknya saja dan yang lain menjadi tanggungan karena masih kecil-kecil dan belum bisa bekerja maka itu bukanlah bonus demografi. Ini malah malapetaka demografi,” jelasnya.