Liputan6.com, Jakarta - Sudah lima dokter meninggal dunia dari Januari hingga Maret 2022 terkait COVID-19. Lalu, dari Maret hingga Juni, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan tidak ada dokter yang meninggal akibat infeksi virus SARS-CoV-2.
“Setelah bulan Maret 2022, masih belum ada tercatat dokter meninggal karena COVID-19," kata Dr Eka Mulyana, SpOT(K) dari Bidang Advokasi Tim Mitigasi IDI dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (21/6/2022).
Baca Juga
Meski begitu, Eka mengatakan agar para dokter dan dokter spesialis tetap mengetatkan protokol kesehatan dan menggunakan alat pelindung diri (APD) saat merawat pasien COVID-19. Terlebih saat ini subvarian BA.4 dan BA.5 yang memiliki karakter mudah menular sudah menyebar di tengah masyarakat.
Advertisement
"Kami mengimbau rekan sejawat dokter dan dokter spesialis tetap menjalankan protokol kesehatan ketat dan mengenakan APD lengkap saat penanganan kasus COVID-19,” tegas Eka.
Sepanjang pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung dua tahun lebih ini, tercatat sudah ada 752 dokter umum dan dokter spesialis yang meninggal dunia akibat infeksi virus SARS-CoV-2.
Rinciannya adalah 252 dokter meninggal akibat COVID-19 di 2020, lalu 495 dokter meninggal di 2021 dan 5 dokter di 2022. Para dokter tersebut tersebar di 29 provinsi Indonesia.
Ketua PB IDI Adib Khumaidi pun sudah mengingatkan anggotanya untuk mewaspadai peningkatan kasus COVID-19 akhir-akhir ini.
"Tetap waspada ya teman-teman di lapangan, tetap waspada," kata Adib di kesempatan yang sama.
IDI Minta Pemerintah Kaji Aturan Boleh Lepas Masker di Ruang Terbuka
Terkait masuknya BA.4 dan BA.5 yang membuat kasus harian COVID-19 di Tanah Air, jumlah kasus positif harian berada di seribuan kasus beberapa hari terakhir. IDI pun meminta pemerintah mengkaji kembali soal boleh melepaskan masker di ruang terbuka.
"Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 jadi pengingat masih perlunya memperkuat protokol kesehatan," kata kata Ketua Bidang Penanganan Penyakit Menular PB IDI, Agus Dwi Susanto dalam konferensi pers pada Selasa, 21 Juni 2022 di Kantor Pusat PB IDI Jakarta Pusat mengutip Antara.
"Kami merekomendasikan untuk dikaji kembali jika diperlukan," kata Agus.
Penggunaan masker di tempat terbuka disertai dengan penerapan protokol kesehatan yang lain merupakan bentuk kewaspadaan dalam menghadapi kasus COVID-19 yang tengah naik beberapa hari terakhir ini. Apalagi bila melihat data di berbagai belahan dunia, BA.4 dan BA.5 menyebabkan kenaikan kasus. Sehingga perlu respons cepat untuk mencegah penyebarannya.
“Kami meminta kerja sama semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat untuk tetap perlu menjalankan berbagai upaya kewaspadaan strategi pencegahan dan sistem pengendalian penularan yang kuat. Penanganan ini tidak bisa dilakukan oleh tenaga medis saja, namun semua pihak secara bersamaan,” kata Adhib.
Advertisement
Puncak Kasus BA.4 dan BA.5 Capai 20 Ribu Kasus
Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan puncak kasus dari subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 mencapai maksimal 20 ribu dalam sehari. Prediksi tersebut berkaca pada kenaikan kasus di negara lain.
"Estimasi dari data di Afrika Selatan, puncak kasusnya mungkin sekitar 20 ribu per hari," kata Budi Gunadi Sadikin di sela acara Penyambutan Kenegaraan Presiden Republik Federal Jerman, di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis, 16 Juni 2022.
Berkaca dari Afrika Selatan sebagai negara pertama teridentifikasi BA.4 dan BA.5, di sana puncak kasus sepertiga dari puncak kasus COVID-19 varian Omicron atau Delta sebelumnya.
Jika pada saat puncak varian Delta dan Omicron sebelumnya di Indonesia terjadi 60.000 kasus per hari, maka diperkirakan puncak Omicron varian baru BA.4 dan BA.5 akan mencapai 20.000-25.000 kasus per hari.
Dia mengatakan puncak kasus biasanya terjadi satu bulan setelah kasus pertama teridentifikasi. Maka, diperkirakan puncak kasus BA.4 dan BA.5 di Indonesia kemungkinan terjadi pada pekan ketiga dan keempat Juli 2022. Sesudah itu kasus akan menurun kembali.
"Setelahnya akan turun kembali," jelas Budi.
Jangan Main-Main Hadapi BA.4 dan BA.5
Ahli epidemiologi Dicky Budiman, anggapan ini keliru. Pasalnya, COVID-19 varian atau subvarian apapun jika dibiarkan maka dampaknya terhadap organ tubuh akan serius.
“Kalau tubuh terinfeksi secara berulang, dampaknya akan serius pada organ. Semakin ke sini, COVID-19 semakin terbukti dapat memicu dampak serius jangka panjang bukan hanya pada organ paru saja tapi juga organ yang tak diduga sebelumnya seperti otak, saraf, bahkan gangguan pertumbuhan bayi bagi ibu hamil,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com.
Artinya dampak COVID-19 tidak main-main, lanjut Dicky. Bahkan, COVID-19 pada anak-anak bisa meningkatkan risiko munculnya penyakit degeneratif di masa depan.
“Harus diingat bahwa kemampuan BA.4 dan BA.5 dalam mereinfeksi atau menginfeksi ulang menunjukkan bahwa membiarkan tubuh kembali terinfeksi tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak membuat imunitas menetap.”
Advertisement