Sukses

Soal Ganja Medis, IDI Kumpulkan Referensi Ilmiah dan Rencanakan Riset

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menambahkan, pihaknya tengah mengelaborasi segala hal terkait ganja medis dengan dasar-dasar ilmiah yang ada.

Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan ganja untuk keperluan medis di Indonesia kini tengah diperbincangkan. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, izin ganja medis akan sama dengan tumbuhan lain, selama penggunaannya untuk penelitian medis maka akan diizinkan.

“Ganja medis memang kita nanti akan sama seperti tumbuhan lain, kalau selama itu dipakai untuk penelitian medis itu kita izinkan, tapi bukan untuk dikonsumsi,” ujar Budi usai memberi sambutan dalam acara Simposium Asosiasi Dokter Medis Sedunia (World Medical Association) tahun 2022 di Jakarta, Minggu (3/7/2022).

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Kumaidi menambahkan, pihaknya tengah mengelaborasi segala hal terkait ganja medis dengan dasar-dasar ilmiah yang ada.

“Tentunya risetnya sangat penting, kita sedang mengumpulkan referensi-referensi ilmiah untuk menjadi suatu dasar sebagai usulan, tapi tentunya poin utama yang harus dipahami bahwa kita harus melihat dari aspek keamanan pasien,” ujar Adib.

Di sisi lain, dalam setiap pengobatan akan selalu ada efek samping yang juga harus diperhitungkan. Inilah yang tengah digali oleh IDI bersama pemangku kepentingan lainnya.

“Pada dasarnya, perlu kita sampaikan bahwa kita sedang mencari referensi ilmiah dan akan mendorong ini menjadi suatu bagian dari riset. Dalam menentukan penggunaan ganja medis tentu akan melalui suatu proses riset.”

“Sebagai usulan dari organisasi profesi IDI, kita mendorong ini sebagai suatu bagian riset terlebih dahulu, baru nanti kita melangkah menjadikan ini sebagai suatu bagian dari standar pelayanan.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Proses yang Tidak Mudah

Dengan kata lain, sebelum digunakan, ganja medis harus memiliki bukti ilmiah terlebih dahulu yang menunjukkan bahwa penggunaannya aman.

“Saya tidak mengatakan belum ada penemuan, kita sedang mengkaji beberapa jurnal. Kita sudah diskusikan di internal, kita coba mencari referensi-referensi ilmiah pendukung.”

“Itu nanti tidak hanya menjadi suatu dasar untuk menjadikan itu sebuah standar pelayanan tapi ini menjadi satu dasar untuk melangkah pada yang namanya riset.”

Riset sendiri akan melibatkan berbagai pihak seperti farmakolog, institusi pendidikan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Salah satu yang diteliti adalah, apakah ganja medis bisa digunakan sebagai bagian dari pengobatan atau tidak. Mengingat, ganja memiliki kandungan berbahaya.

“Ini merupakan proses yang tidak mudah, ada percobaan klinis, referensi ilmiah, dan data dasar pendukung.”

Terkait durasi risetnya sendiri, Adib belum bisa memberi perkiraan karena perlu penjelasan dari para ahli.

Soal koordinasi IDI dengan Kementerian Kesehatan terkait penggunaan ganja medis, IDI saat ini belum dilibatkan secara langsung. Dari sisi personal pakar sudah, tapi secara institusi ke depannya IDI akan memberi masukan kepada Kementerian Kesehatan terkait hal ini.

3 dari 4 halaman

Kandungan Ganja

Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin meminta Komisi Fatwa MUI membuat fatwa terkait penggunaan ganja medis.

"Ganja itu memang dilarang dalam Islam. Masalah kesehatan itu MUI harus membuat fatwanya, fatwa baru kebolehannya (ganja medis) itu,” kata Ma'ruf usai memimpin rapat pimpinan MUI di Kantor MUI, Jakarta Pusat pada Selasa, 28 Mei 2022.

Terkait hal ini, Guru Besar Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. apt. Zullies Ikawati, Ph.D menjelaskan bahwa ganja medis adalah obat yang berasal dari ganja.

Ganja memiliki beberapa senyawa aktif yang bisa berefek terapi, maupun efek samping. Ganja mengandung senyawa cannabinoid, yang terdiri lagi dari berbagai komponen zat lain. Yang utama adalah tetrahydrocannabinol (THC) yang memiliki sifat psikoaktif.

“Yang artinya dapat memengaruhi psikis/mental,  dan ialah yang bertanggung jawab terhadap efek ketergantungan, dan lain-lain,” kata Zullies kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks Rabu 29 Juni 2022.

4 dari 4 halaman

CBD pada Ganja

Ada lagi senyawa aktif yang namanya cannabidiol (CBD), lanjutnya, di mana ini memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.

CBD ini lah yang sebenarnya memiliki efek salah satunya antikejang, dan itu sudah terbukti dalam uji klinik pada beberapa jenis penyakit kejang.

Di Amerika, Food and Drug Administration (FDA) sudah menyetujui obat yang mengandung CBD ini. Obat ini digunakan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet Syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.

“Jadi pada kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka kejang itu yang akan diatasi dengan ganja. Tetapi tentu saja yang dibutuhkan adalah CBD-nya. Bukan keseluruhan dari tanaman ganja.”

“Karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental.”

Zullies menambahkan, di beberapa negara sudah banyak kajian tentang ganja untuk tujuan medis dan beberapa sudah ada uji kliniknya.

“Tetapi sekali lagi, ganja yang dimaksudkan adalah yang dalam bentuk obat, yang sudah jelas dosisnya, dan cara pemakaiannya.”

Selama ada pilihan lain, maka ganja medis tidak terlalu perlu digunakan. Dan kalaupun akan digunakan, harus dalam bentuk yang sudah terstandar, sebagaimana obat.