Sukses

Beri Air Gula pada Anak, Kepala BKKBN: Tidak Berbahaya, Tapi Kurang Manfaat

Hasto menjelaskan bahwa air gula tidak berbahaya jika diberikan pada anak, namun kurang bermanfaat karena hanya akan menurunkan nafsu makan dan memperbesar potensi risiko stunting.

Liputan6.com, Jakarta - Banyak keluarga salah mengartikan air gula sebagai sumber gizi pengganti susu formula. Terkait hal tersebut, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, pemberian air gula pada anak hanya akan menurunkan nafsu makan dan memperbesar potensi risiko stunting.

Hasto menjelaskan bahwa air gula tidak berbahaya jika diberikan pada anak, namun kurang bermanfaat.

"Air gula itu memang tidak berbahaya, tapi kurang manfaat. Itu hanya mengandung unsur karbohidrat. Karbohidrat memang diperlukan, tapi protein itu penting sekali," ujarnya di Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara, Kamis (7/7/2022), dilansir Antara.

Hasto menuturkan, kandungan karbohidrat kandungan karbohidrat dari air gula sangat tinggi dan menurunkan nafsu makan anak. Hal itu menyebabkan anak menjadi lebih dulu kenyang dan terlanjur menikmati rasa manis. Akibatnya, anak akan cenderung menolak ketika diberi makanan lain seperti buah dan air susu ibu (ASI).

"Jadi anak seperti itu, belum apa-apa sudah dikasih air gula, dia justru senang itu. Kita saja kalau haus karena kepanasan lalu dikasih es teh, begitu disuruh makan buah tidak mau, suruh minum susu tidak mau. Itu kesalahan kita begitu," ujarnya.

Hasto menyarankan agar anak lebih baik diberi makanan seperti bubur, nasi ataupun makanan berprotein tinggi seperti telur dan ikan kembung sebagai pengganti air gula. Hal itu agar asupan gizi anak tetap terjaga. Apalagi dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) yang harus benar-benar dimaksimalkan.

"Jadi pendampingan lebih penting dibandingkan pemberian makanan atau bantuan lain dalam mengentaskan stunting. Apalagi bantuan makanan yang cut and run. Kasih lalu pergi, itu stunting tidak akan turun. Makanya kalau kasih harus enam bulan dan makanannya harus gizi seimbang," Hasto menjelaskan.

 

2 dari 3 halaman

Tim Pendamping Keluarga

Terkait stunting maupun manajemen gizi keluarga, BKKBN, kata Hasto, telah membentuk tim pendamping keluarga (TPK) yang diharapkan dapat mengedukasi 90 persen keluarga di seluruh Indonesia.

Pengawalan sektor kesehatan juga dilakukan sebelum pasangan usia surbur (PUS) menikah. Hal tersebut dilakukan dengan mengukur kadar hemoglobin (Hb) dalam darah, lingkar lengan atas dan lain sebagainya. Hasil dari pengawalan kesehatan tersebut akan dimasukkan dalam aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil).

Hasto berharap TPK dapat lebih gencar dan rajin mendatangi tiap rumah agar data yang terkumpul selalu update dan tidak ada keluarga yang berisiko stunting lolos dari pengawalan.

"Kita sudah berikan pulsa setiap bulan itu Rp100 ribu ke TPK untuk kirim informasi supaya update, petunjuknya sudah ada. Yang dikirim tinggi badannya, terus kalau kurang dari 48 sentimeter, kalau 46 misalnya, langsung aplikasi kita bunyi kalau anaknya stunting," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Upaya Turunkan Angka Stunting

TPK merupakan salah satu cara BKKBN dalam upaya menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024. BKKBN telah membentuk 200 ribu tim TPK yang terdiri dari bidan, kader PKK, dan kader KB di seluruh desa/kelurahan.

Selain itu, BKKBN juga membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) san Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penurunan Stunting untuk memaksimalkan hasil penurunan angka stunting. Juga membuat aplikasi Elsimil guna memantau kesehatan dan memberikan pelayanan pada calon pasangan usia subur.

BKKBN pun membuat inovasi baru melalui Bapak Asuh Anak Stunting dalam mengawal 1.000 HPK serta mendirikan kampung KB. Capaian-capaian tersebut diungkap dalam puncak Acara Hari Keluarga Nasional (Hagarnas) ke-29 di Lapangan Merdeka Kota Medan, Kamis, 7 Juli 2022.

Video Terkini