Liputan6.com, Jakarta Jantung merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sangat penting. Fungsi utamanya adalah sebagai pompa darah ke seluruh tubuh, suplai makanan dan oksigen ke sel-sel tubuh manusia sehingga kita dapat menjalani aktivitas sehari-hari secara normal.
Melihat fungsi jantung yang begitu krusial, bayangkan jika jantung kita mengalami masalah. Entah itu karena detak jantung yang tak stabil atau karena penyumbatan di pembuluh koroner jantung. Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya masalah-masalah di jantung?
Baca Juga
Upaya Berkelanjutan BRI Mendukung Kelompok Usaha Tanah Miring di Merauke Lewat Pemasar Mikro
Cerita Mantri BRI Agustina Etwiory Dedikasikan Hidupnya untuk Majukan Ekonomi Desa di Merauke
Konsisten Berdayakan Peternak Sapi Perah Rakyat, PT Nestlé Indonesia Raih Indonesia Corporate Sustainability Award 2024
Ada dua macam penyakit jantung: penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung yang didapat.
Advertisement
"Penyakit jantung didapat, ada banyak sekali penyebabnya. Aterosklerosis atau perlemakan di pembuluh darah misalnya, penyebabnya antara lain adalah karena pola makan, munculnya darah tinggi, diabetes, merokok dan faktor usia. Penyebab-penyebab tersebut dikenal sebagai faktor risiko. Faktor-faktor-faktor risiko terjadinya penyakit jantung karena aterosklerosis tersebut sama dengan faktor risiko untuk terjadinya stroke," jelas dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Novita Sitorus, Sp.JP (K) dari Rumah Sakit EMC Pekayon, saat berbincang dengan tim Liputan.com, Senin (27/6).
Aterosklerosis merupakan kondisi yang berkembang ketika ada penumpukan lemak di dinding arteri. Penumpukan lemak tersebut akan mempersempit arteri, sehingga darah akan lebih sulit untuk mengalir karena adanya gumpalan darah yang terbentuk di dinding arteri. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya serangan jantung dan stroke.
Lebih lanjut, dr Novita menjelaskan kalau penyakit jantung seperti aterosklerosis jumlah penderitanya meningkat. Jika dulu aterosklerosis menyerang pria berusia di atas 50 tahun dan wanita di atas 65 tahun, kini paradigmanya mulai mengalami pergeseran. Alasan munculnya penyakit jantung di usia yang lebih awal, bahkan usia produktif karena faktor lifestyle atau gaya hidup.
Pola sedentary lifestyle (kecenderungan untuk tidak atau kurang bergerak) saat ini tanpa sadar sudah menjadi bagian hidup kita sehari-hari, terutama mereka para pekerja kantor yang cenderung duduk berjam-jam di meja kerjanya dengan laptop atau komputer, dan lain lain.
Apalagi sejak pandemi, kita semakin jarang bergerak karena adanya batasan mobilisasi. Saat menjalani gaya hidup yang tak banyak bergerak, maka obesitas, darah tinggi dan diabetes akan mudah berkembang.
Hal ini merupakan cikal bakal terjadinya penyakit aterosklerosis terutama penyakit jantung koroner dan stroke. Faktor risiko lain seperti depresi dan kecemasan juga memberikan kontribusi terhadap munculnya penyakit-penyakit ini.
"Sekarang paradigmanya itu adalah sitting is a new smoking. Jadi orang yang banyak duduk itu faktor risikonya setara dengan orang yang merokok. Memang sampai sekarang penyakit jantung didominasi oleh pria, secara genetik lebih mudah terkena penyakit jantung. Meski demikian, penderita jantung wanita jumlahnya bertambah, dibanding tahun-tahun sebelumnya," kata dr. Novita.
Kapan Waktu Tepat Lakukan Pemeriksaan Jantung?
Sebagai organ vital yang penting dan esensial, jantung mempengaruhi hampir seluruh organ. Jika terjadi permasalahan pada jantung, otomatis kelangsungan hidup juga akan terganggu dan dapat menyebabkan kualitas hidup menurun.
Maka tak heran, jika tak sedikit perusahaan yang mewajibkan karyawannya untuk melakukan medical check up (MCU), salah satunya adalah skrining jantung. Ya, skrining jantung menjadi proses pemeriksaan untuk mendeteksi adanya gangguan pada jantung. Tentunya langkah ini ditempuh sebagai upaya atau tindakan pencegahan terhadap penyakit jantung.
"Dulu MCU untuk skrinning penyakit jantung dilakukan di atas usia 45 tahun, tapi sekarang trennya terutama untuk pasien saya, MCU dilakukan di usia yang lebih muda, 25-30 tahun. Bagi saya idealnya adalah seseorang melakukan standar pemeriksaan kesehatan jantung pada 35 tahun ke atas tanpa faktor risiko atau 30 tahun ke atas untuk mereka yang memiliki satu atau lebih faktor risiko (merokok, darah tinggi, kolesterol, diabetes, ada keturunan keluarga dengan penyakit jantung, misalnya ayah meninggal mendadak, kakak pasang ring, dll). Saya pikir memang butuh kesadaran masing-masing orang," jelas dr Novita yang juga anggota PIKI (Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia) atau ISIC (The Indonesian Society of Interventional Cardiology).
Lebih lanjut, dr Novita menjelaskan bahwa kekhasan penyakit jantung adalah adanya progresivitas. Artinya, penyakit jantung akan bertambah berat gejalanya seiring bertambahnya usia.
"Maka dari itu yang kami lakukan adalah bagaimana caranya agar progresivitas penyakit tersebut dapat diperlambat. Misalnya bila seorang pasien terdiagnosis penyakit jantung koroner dan pasang ring di usia 48 tahun, maka kami berusaha agar usianya lebih panjang misalnya sampai usia 80 tahun, dst," ujarnya.
Selain itu, dengan adanya pemeriksaan MCU atau skrining jantung di usia dini, tentunya dokter dan pasien menjadi tahu diagnosis penyakit jantung lebih awal. Beberapa pemeriksaan standar untuk skrining jantung yang sering kami lakukan antara lain adalah pemeriksaan laboratorium (untuk melihat kadar kolesterol, gula darah dan asam urat), ronsen dada, EKG (rekam jantung), ekokardiografi (USG jantung) dan treadmill.
Bila dari pemeriksaan-pemeriksaan standar tersebut tidak tampak ada kelainan, namun pasien menyampaikan ada keluhan jantung seperti nyeri dada, berdebar, mudah lelah, atau ada riwayat pingsan (keluhan-keluhan ini merupakan keluhan mayor penyakit jantung).
Maka kami akan merekomendasikan pemeriksaan lanjutan seperti holter monitoring (untuk keluhan berdebar atau pingsan), CT scan jantung untuk mereka dengan keluhan nyeri dada atau pemeriksaan laboratorium tambahan untuk fungsi tiroid, karena sering sekali kelainan tiroid ini menimbulkan keluhan-keluhan jantung seperti tersebut di atas.
Masing-masing pemeriksaan memiliki tujuan tertentu, misalnya pemeriksaan EKG atau rekam jantung dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah ada gangguan irama jantung, penebalan otot jantung, atau penyempitan pembuluh darah yang berpotensi terhadap serangan jantung koroner sedangkan ekokardiografi lebih jelas melihat kelainan struktur jantung seperti sekat jantung bocor, klep yang macet atau tidak menutup dengan sempurna, lemah jantung dll.
Advertisement
Bersahabat dengan Penyakit Jantung
Ketika seseorang terdiagnosa penyakit jantung, tak sedikit orang yang langsung drop hingga akhirnya kualitas hidupnya menurun. Padahal jika dikelola dengan baik penyakit jantung dapat dikontrol sehingga kualitas hidup para pasien ini dapat lebih optimal. Kontrol rutin dan sering melakukan konsultasi serta adanya dukungan dari seluruh elemen terutama keluarga menjadi kunci utama keberhasilan manajemen pasien-pasien jantung tersebut.
Dokter Novita menjelaskan, faktor risiko yang paling sering ditemukan pada praktek sehari-hari antara lain adalah hipertensi dan diabetes. Faktor-faktor risiko ini kemudian akan menjadi cikal bakal terjadinya penyakit jantung dan kemudian gagal jantung lalu kematian. Konsep ini dikenal sebagai cardiovascular continuum yang pertama kali dikenalkan oleh Dzau dan Braunwald pada tahun 1991 (lihat gambar).
Konsep ini menekankan sangat pentingnya mengendalikan faktor risiko sejak dini sebelum nantinya terjadi penyakit jantung dan akhirnya kematian. Sebagai contoh misalnya, dari hipertensi akan menjadi pembengkakan jantung, lalu menjadi penyempitan jantung kemudian bisa menjadi lemah jantung yang disebut gagal jantung, hingga akhirnya terjadi kematian.
Kalau sudah ada di step pertama, berpotensi mengarah ke level selanjutnya. Maka dari itu untuk menjadi pasien pintar, kami berharap pasien memahami dulu sakitnya dan perjalanan penyakitnya kemudian menerima dan bekerja sama untuk pengelolaan lebih lanjut.
Sekali lagi: menerima dan memahami ini menjadi kunci tatalaksana pengobatan penyakit jantung. Nah, bagi yang sudah terdiagnosa mengalami gangguan jantung, dr Novita menyarankan untuk tak memberhentikan konsumsi obat tanpa konsultasi guna mencegah terjadinya progresivitas.
Contoh sederhana, jika memang faktor risiko-nya adalah darah tinggi atau hipertensi, maka jangan berhenti mengkonsumsi obat darah tinggi tanpa konsultasi. Ingat bahwa darah tinggi atau hipertensi ini akan progresif dan akan berkembang menjadi penyakit jantung yang lebih berat.
"Biasanya saya minta kontrol tiap enam bulan dan lakukan pemeriksaan fisik, tensi atau tekanan darah dan minimal EKG serta laboratorium. Jika memiliki diabetes maka pasien disarankan untuk kontrol di dokter penyakit dalam untuk kontrol gulanya. Tapi sudah sampai di jantung koroner atau gagal jantung, akan diberikan beberapa restriksi," jelasnya lagi.
Biasanya jika dari pemantauan rutin gulanya tidak terkontrol dokter penyakit dalam akan merujuk untuk evaluasi jantung, karena gula ini akan berpotensi 'menyerang' jantung pasien.
Sejak pandemi banyak sekali layanan konsultasi online tersedia, maka diharapkan hal ini akan membantu pasien berkonsultasi dengan lebih mudah jadi diharapkan tidak ada lagi pasien-pasien jantung yang 'putus obat' tanpa konsultasi terlebih dahulu.
Platform konsultasi online seperti ini memiliki beberapa kekurangan, misalnya untuk pasien baru yang menyampaikan keluhan jantung namun belum pernah periksa apapun maka akan sulit memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga sangat disarankan agar pasien bertemu secara langsung terlebih dahulu untuk dilakukan pemeriksaan lengkap, baru kemudian untuk follow up-nya pasien-pasien dapat menggunakan jasa konsultasi online seperti yang disebutkan di atas.
Nah, bagi Anda yang mengalami keluhan terkait jantung, ada baiknya berkonsultasi secara tatap muka dan berkonsultasi dengan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Novita Sitorus, Sp.JP (K) dari Rumah Sakit EMC Pekayon, setiap Senin-Sabtu. Informasi selengkapnya cek di sini.
(*)