Sukses

[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: Centaurus, Bad Net dan Masker

Kini India kembali melaporkan sub varian baru, yaitu BA.2.75, yang oleh sebagian pihak disebut sebagai “centaurus”, tentu belum nama resmi.

Liputan6.com, Jakarta - India kita kenal sebagai negara yang pertama kali melaporkan COVID-19 varian Delta pada penghujung 2022 yang kemudian nyaris meluluhlantakkan dunia kesehatan. Kini, India kembali melaporkan sub varian baru, yaitu BA.2.75, yang oleh sebagian pihak disebut sebagai “Centaurus”, nama ini tentu belum menjadi nama resmi.

Badan ilmiah di India, “Indian SARS-CoV-2 Consortium on Genomics (INSACOG)” (bagusnya Indonesia juga punya konsorsium genomik seperti ini) pada akhir minggu yang lalu melaporkan bahwa di negara itu BA.2 yang kini mendominasi. Di India BA.4 dan BA.5 hanya ditemukan pada kurang dari 10% sampel mereka, sementara BA2.38 ada pada 30% sampelnya.

Kita di Indonesia juga amat perlu melakukan pengumpulan data ke arah BA.2 ini dan turunannya, dan hasilnya dimumumkan ke publik.

Memang sejauh ini belum ada kepastian tentang penularan dan berat ringannya dampak BA.2.75 serta kemungkinan menghindar dari sistem imun seseorang, hanya sejak dari India maka kini kasus sudah menyebar ke 10 negara, penyebaran yang cukup cepat yang mengingatkan kita seperti varian Delta yang lalu.

Data sementara yang ada menunjukkan bahwa BA.2.75 menunjukkan setidaknya 8 mutasi tambahan daripada BA.5 yang sekarang banyak di Indonesia, utamanya di terminal N, yang dapat punya pengaruh menghindar dari imunitas yang sekarang sudah ada.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Selain BA.2.75 yang memang suidah dalam monitoring WHO maka ada juga sub varian lain yang perlu dapat perhatian, antaranya adalah BA.5.3.1 yang disebut juga sebagai “Bad Ned” karena ada mutasi pada N:E136D. Liputan6.com pagi ini (11 Juli) juga menyebut tentang BA.5.2.1 yang terdeteksi di Shanghai.

Semua perkembangan ini membuat kita perlu waspada. Kita berbesar hati dengan arahan Presiden Jokowi pada saat Idul Adha bahwa “baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan memakai masker adalah masih sebuah keharusan”.

Arahan Presiden ini amat penting bukan saja karena memang perlindungan dengan masker memang amat penting, tetapi juga karena beberapa waktu yang lalu ada semacam “beda pendapat” sesudah Wakil Presiden juga menyebutkan tentang pemakaian masker di luar ruangan.

 

 

Prof Tjandra Yoga Aditama

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI/Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara/Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kepala Balitbangkes

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

WHO mulai melacak subvarian

Sebelumnya, Dilansir dari laman Channel News Asia, Kota Shanghai telah menemukan kasus COVID-19 yang melibatkan subvarian baru Omicron BA.5.2.1, seorang pejabat mengatakan pada briefing pada hari Minggu (10 Juli), menandakan komplikasi yang dihadapi China untuk mengikuti mutasi baru saat mengejar kebijakan "nol-COVID".

Kasus tersebut, ditemukan di distrik keuangan Pudong pada 8 Juli, terkait dengan kasus dari luar negeri, kata Zhao Dandan, wakil direktur komisi kesehatan kota.

Sementara itu, AS telah mengidentifikasi kasus subvarian Omicron terbaru, dijuluki "Centaurus" dan dikenal sebagai BA.2.75 di komunitas ilmiah, menurut WebMD.

Dua kasus telah terdeteksi di AS sejauh ini, dengan yang pertama diidentifikasi pada 14 Juni, juru bicara CDC mengatakan kepada outlet berita.

WHO mengumumkan minggu ini bahwa mereka telah mulai melacak subvarian, yang diidentifikasi di India pada awal Juni dan telah dilaporkan di beberapa negara lain. BA.2.75 belum dinyatakan sebagai varian kekhawatiran, kata pejabat WHO, dan para peneliti masih mempelajari tentang penularan, tingkat keparahan, dan potensi penghindaran kekebalan.

CDC tidak secara terbuka melaporkan varian yang muncul sampai mereka menyumbang sekitar 1% dari kasus. Sejauh ini, kasus BA.2.75 dilaporkan pada pelacak data CDC di bawah kasus BA.2, yang merupakan sekitar 2,8% dari kasus AS minggu lalu.

Subvarian paling menonjol di AS saat ini adalah BA.5, yang menyumbang 53,6% kasus baru minggu lalu, diikuti oleh BA.2.12.1 dengan 27,2% kasus dan BA.4 dengan 16,5% kasus.

Di India, BA.2.75 semakin menonjol dan bersaing dengan BA.5 sebagai jenis yang paling menular. Sejauh ini, BA.2.75 juga telah terdeteksi di Australia, Kanada, Jerman, Selandia Baru, dan Inggris.

 

3 dari 3 halaman

Kata pakar kesehatan

Pakar kesehatan masyarakat telah memposting di Twitter minggu ini tentang subvarian baru, meningkatkan kekhawatiran tentang potensi penularan yang lebih tinggi dan kemampuan yang lebih baik untuk menghindari vaksin.

Seiring dengan mutasi Omicron biasa, BA.2.75 memiliki sembilan perubahan tambahan, yang dapat membantu subvarian menyebar lebih cepat dan lebih luas daripada subtipe Omicron sebelumnya.

Pada saat yang sama, para peneliti tidak dapat secara pasti mengatakan apakah BA.2.75 akan mengambil alih di negara-negara di mana BA.5 dominan, seperti AS.

"Subvarian 'mungkin' hanya menyebar untuk beberapa periode waktu hingga mencapai BA.5 dan kalah bersaing untuk menginfeksi orang," kata Amesh Adalja, MD, seorang senior di Pusat Keamanan Kesehatan Johns Hopkins.

“Saya tidak tahu saat ini bahwa BA.2.75 akan menjadi lebih bermasalah dibandingkan varian BA.5 lain,” katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.