Liputan6.com, Jakarta Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas akibat sistem imun yang lebih sensitif terhadap suatu paparan tertentu dibanding orang lain.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, biasanya pemicu alergi beragam seperti debu, makanan, serbuk sari bunga, dan hal lainnya yang juga disebut alergen.
Baca Juga
“Di Indonesia banyak macam alergi, tapi yang paling banyak adalah pilek alergi atau rhinitis alergi dan gatal alergi, ini yang paling banyak dijumpai,” ujar Zullies dalam seminar daring Bayer Selasa (12/7/2022).
Advertisement
Pilek alergi ditandai dengan bersin-bersin kadang setiap pagi atau saat terkena paparan alergen. Gejala lainnya bisa mencakup hidung meler, hidung tersumbat, dan hidung gatal.
Terkadang bisa juga ditandai dengan telinga gatal serta berdengung, mata berair, mata gatal dan merah, tenggorokan gatal, gangguan tidur, tapi yang paling sering adalah bersin-bersin. Ini bisa terjadi hampir setiap hari jika tidak mengonsumsi obat antialergi.
Pilek alergi memiliki prevalensi sebesar 53 persen di Indonesia. Alergi ini paling sering ditemukan pada kelompok usia produktif.
Di Asia Pasifik, prevalensi pilek alergi mencapai 150 juta, di Eropa dan Amerika prevalensinya yakni 100 juta. Begitu pula di India, pakistan, dan negara-negara sekitarnya yang sama-sama menunjukkan prevalensi 100 juta-an.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Gatal Alergi
Sedangkan, gatal alergi terjadinya di kulit. Alergi yang juga disebut urtikaria prevalensinya belum diketahui secara pasti.
Namun, penelitian di Palembang pada 2007 yang dilakukan pada 3.000 remaja usia 14-19 tahun mendapatkan prevalensi urtikaria alergi sebesar 42,78 persen.
Sebanyak 15-20 persen manusia pernah mengalami episode gatal alergi satu kali selama hidupnya. Alergi ini bisa ditandai dengan kulit gatal atau panas, munculnya ruam kemerahan, dan bentol-bentol.
Menurut Zullies, prevalensi alergi semakin meningkat setiap tahunnya dan dapat berdampak pada kualitas hidup pengidapnya. Alergi yang dialami pada malam hari bisa mengganggu waktu tidur.
Gangguan tidur dapat menyebabkan rasa ngantuk dan kelelahan di siang hari. Alergi juga bisa menyebabkan gangguan belajar, penurunan fungsi kognitif, penurunan kualitas kerja, dan penurunan produktivitas jangka panjang.
“Jadi aktivitas terganggu, bisa bersin-bersin saat kena paparan, enggak boleh makan ini enggak boleh makan itu, dikit-dikit gatal, tentu akan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari,” kata Zullies.
Advertisement
Bersifat Kronis
Zullies juga menyampaikan bahwa alergi bersifat kronis. Artinya, penyakit ini akan terus ada karena merupakan gangguan atau abnormalitas pada sistem imun yang terlalu sensitif. Namun, alergi bukanlah penyakit mematikan.
“Sehingga kemudian kita harus bisa mencoba mengatasi sendiri. Ada istilah namanya swamedikasi. Ini didefinisikan sebagai upaya pengobatan yang dilakukan secara mandiri untuk mengobati gejala atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.”
Definisi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 919/MENKES/PER/X/1993.
Menurut Zullies, swamedikasi sangat cocok diterapkan pada penyakit alergi. Mengingat penyakit ini bisa datang kapan saja tanpa bisa diperkirakan.
Untuk itu, pengidap alergi dapat mengonsumsi obat tertentu sesuai arahan apoteker. Para apoteker akan memilihkan obat yang paling tepat sesuai dengan keadaan masing-masing pasien alergi.
“Apoteker itu bisa sangat membantu dalam memilihkan obat.”
Sebetulnya, ada beberapa pilihan untuk pasien melakukan pengobatan. Yang pertama adalah pengobatan secara mandiri atau swamedikasi.
Tindakan Lain
Selain melakukan pengobatan sendiri, di beberapa kasus pasien bisa saja memerlukan obat sehingga perlu datang ke farmasi atau apotek untuk mendapatkan obat.
“Mungkin sebagian lagi akan datang ke dokter umum, biasanya tergantung juga dengan tingkat keparahannya. Kalau memang terasa sangat mengganggu mereka mungkin akan datang ke dokter umum untuk mendapatkan diagnosa yang tepat dan diresepkan obat.”
“Kalau sudah lebih berat, pasien bisa datang ke spesialis seperti alergologi atau tergantung pada jenis alerginya. Kalau pilek alergi datangnya ke dokter spesialis THT (telinga, hidung, tenggorokan). Kalau alergi kulit mungkin ke dokter spesialis kulit.”
Terkait swamedikasi, pasien tidak diharuskan berangkat ke rumah sakit dan dapat menggunakan obat-obatan tanpa resep yang bisa diperoleh di apotek.
“Nanti akan dipandu oleh apoteker dalam pemilihan obatnya.”
Ini merupakan suatu tantangan bagi apoteker. Jika melayani pasien alergi maka perlu ditanya riwayatnya. Biasanya, alergi menurun dari anggota keluarga.
Apoteker kemudian bisa memberikan obat-obat yang bisa dikonsumsi tanpa resep. Sebelum memberi obat, apoteker harus mengerti mekanisme alergi.
Menurut mekanismenya, reaksi alergi melibatkan senyawa histamin yang akan bekerja pada reseptornya kemudian menghasilkan gejala alergi. Maka dari itu, untuk mengatasi alergi diperlukan obat yang dapat menghambat kerja histamin atau antihistamin.
Advertisement