Liputan6.com, Jakarta- Alergi merupakan penyakit yang bersifat kronis. Artinya, penyakit ini akan terus ada karena merupakan gangguan atau abnormalitas pada sistem imun yang terlalu sensitif. Namun, alergi bukanlah penyakit mematikan.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, alergi yang bisa datang kapan saja perlu penanganan mandiri atau swamedikasi.
Baca Juga
“Kita harus bisa mencoba mengatasi sendiri. Ada istilah namanya swamedikasi. Ini didefinisikan sebagai upaya pengobatan yang dilakukan secara mandiri untuk mengobati gejala atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu,” ujar Zullies dalam seminar daring Bayer Selasa (12/7/2022).
Advertisement
Definisi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 919/MENKES/PER/X/1993.
Menurut Zullies, swamedikasi sangat cocok diterapkan pada pasien alergi. Mengingat penyakit ini bisa timbul tanpa diperkirakan.
Dalam melakukan swamedikasi, pengidap alergi dapat mengonsumsi obat tertentu sesuai arahan apoteker. Para apoteker akan memilihkan obat yang paling tepat sesuai dengan keadaan masing-masing pasien alergi.
“Apoteker itu bisa sangat membantu dalam memilihkan obat.”
Swamedikasi menjadi salah satu pilihan dalam penanganan alergi terutama jika alerginya tidak parah.
Selain melakukan pengobatan mandiri, di beberapa kasus pasien bisa saja memerlukan obat sehingga perlu datang ke farmasi atau apotek untuk mendapatkan obat.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pada Kasus yang Lebih Parah
Namun, pada kasus yang lebih serius, pasien bisa saja membutuhkan pertolongan dokter.
“Mungkin sebagian lagi akan datang ke dokter umum, biasanya tergantung juga dengan tingkat keparahannya. Kalau memang terasa sangat mengganggu mereka mungkin akan datang ke dokter umum untuk mendapatkan diagnosa yang tepat dan diresepkan obat.”
“Kalau sudah lebih berat, pasien bisa datang ke spesialis seperti alergologi atau tergantung pada jenis alerginya. Kalau pilek alergi datangnya ke dokter spesialis THT (telinga, hidung, tenggorokan). Kalau alergi kulit mungkin ke dokter spesialis kulit.”
Terkait swamedikasi, pasien tidak diharuskan berangkat ke rumah sakit dan dapat menggunakan obat-obatan tanpa resep yang bisa diperoleh di apotek.
“Nanti akan dipandu oleh apoteker dalam pemilihan obatnya.”
Ini merupakan suatu tantangan bagi apoteker. Jika melayani pasien alergi maka perlu ditanya riwayatnya. Biasanya, alergi menurun dari anggota keluarga.
Apoteker kemudian bisa memberikan obat-obat yang bisa dikonsumsi tanpa resep. Sebelum memberi obat, apoteker harus mengerti mekanisme alergi.
Advertisement
Mekanisme Alergi
Menurut mekanismenya, reaksi alergi melibatkan senyawa histamin yang akan bekerja pada reseptornya kemudian menghasilkan gejala alergi. Maka dari itu, untuk mengatasi alergi diperlukan obat yang dapat menghambat kerja histamin atau antihistamin.
Biasanya pemicu alergi beragam seperti debu, makanan, serbuk sari bunga, dan hal lainnya yang juga disebut alergen.
“Di Indonesia banyak macam alergi, tapi yang paling banyak adalah pilek alergi atau rhinitis alergi dan gatal alergi, ini yang paling banyak dijumpai,” ujar Zullies.
Pilek alergi ditandai dengan bersin-bersin kadang setiap pagi atau saat terkena paparan alergen. Gejala lainnya bisa mencakup hidung meler, hidung tersumbat, dan hidung gatal.
Terkadang bisa juga ditandai dengan telinga gatal serta berdengung, mata berair, mata gatal dan merah, tenggorokan gatal, gangguan tidur, tapi yang paling sering adalah bersin-bersin. Ini bisa terjadi hampir setiap hari jika tidak mengonsumsi obat antialergi.
Pilek alergi memiliki prevalensi sebesar 53 persen di Indonesia. Alergi ini paling sering ditemukan pada kelompok usia produktif.
Prevalensi Pilek Alergi
Di Asia Pasifik, prevalensi pilek alergi mencapai 150 juta, di Eropa dan Amerika prevalensinya yakni 100 juta. Begitu pula di India, pakistan, dan negara-negara sekitarnya yang sama-sama menunjukkan prevalensi 100 juta-an.
Sedangkan, gatal alergi terjadinya di kulit. Alergi yang juga disebut urtikaria prevalensinya belum diketahui pasti.
Penelitian di Palembang pada 2007 yang dilakukan pada 3.000 remaja usia 14-19 tahun mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78 persen.
Sebanyak 15-20 persen manusia pernah mengalami episode gatal alergi satu kali selama hidupnya. Alergi ini bisa ditandai dengan kulit gatal atau panas, munculnya ruam kemerahan, dan bentol-bentol.
Menurut Zullies, prevalensi alergi semakin meningkat setiap tahunnya dan dapat berdampak pada kualitas hidup pengidapnya. Alergi yang dialami pada malam hari bisa mengganggu waktu tidur.
Gangguan tidur dapat menyebabkan rasa kantuk dan kelelahan di siang hari. Alergi juga bisa menyebabkan gangguan belajar, penurunan fungsi kognitif, penurunan kualitas kerja, dan penurunan produktivitas jangka panjang.
“Jadi aktivitas terganggu, bisa bersin-bersin saat kena paparan, enggak boleh makan ini enggak boleh makan itu, dikit-dikit gatal, tentu akan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari,” kata Zullies.
Advertisement