Sukses

Batuk dan Mual Bisa Jadi Efek Samping Obat, Bagaimana Cara Membedakannya?

Batuk dan mual ternyata bisa menjadi efek samping dari obat yang sedang dikonsumsi. Membedakannya pun perlu kepekaan pada waktu munculnya gejala.

Liputan6.com, Jakarta - Masing-masing individu memiliki respons yang berbeda terhadap obat, begitupun dengan efek sampingnya. Anda mungkin salah satu yang pernah merasakannya namun tidak menyadari bahwa itu adalah efeknya.

Efek samping obat sendiri bisa muncul lewat berbagai bentuk. Dua yang paling umum pada bagian luar adalah munculnya alergi atau perubahan pada area bibir menjadi lebih kering usai mengonsumsi obat.

Selain itu, efek samping obat juga bisa terasa lewat jantung yang berdebar. Namun yang biasanya kerap tidak disadari adalah batuk-batuk dan mual.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Zullies Ikawati pun mengungkapkan bahwa memang tidaklah mudah untuk membedakan efek samping obat dengan gejala penyakit lainnya.

Seperti pada batuk dan mual, Anda mungkin merasa bahwa itu adalah batuk dan mual biasa, yang mana bukan disebabkan oleh obat. Melainkan hal lain yang mungkin sedang Anda konsumsi.

Munculnya batuk dan mual akhirnya seringkali tidak disadari sebagai efek samping obat. Menurut Zullies, salah satu cara untuk membedakannya adalah dengan melihat kapan gejala tersebut muncul.

"Jika obat berhenti diminum dan gejala tadi hilang, berarti itu kemungkinan besar adalah efek samping obat," ujar Zullies mengutip laman tulisan pribadinya, Kamis (14/7/2022).

Nah, sedangkan bila obat sudah berhenti dikonsumsi namun keluhan masih ada, maka kemungkinan itu adalah tanda dari adanya penyakit lain yang sedang dialami.

2 dari 4 halaman

Memprediksi Efek Samping Obat

Dalam kesempatan yang sama, Zullies menjelaskan bahwa terdapat efek samping obat yang dapat diprediksi. Namun ada pula yang tidak bisa diprediksi.

Terlebih menurutnya, hampir sebagian besar obat sebenarnya memiliki efek samping. Hal tersebut dikarenakan jarang sekali ada obat yang beraksi dengan cukup selektif pada tubuh manusia.

"Suatu obat bisa bekerja pada suatu reseptor tertentu yang terdistribusi luas dalam berbagai jaringan di tubuh. Sehingga walaupun sasarannya adalah reseptor pada pembuluh darah jantung misalnya, ia bisa juga bekerja pada reseptor serupa yang ada di saluran nafas dan menghasilkan efek yang tak diinginkan pada saluran nafas," kata Zullies.

Contoh lainnya adalah efek samping dari obat anti hipertensi propanolol yang dapat memicu adanya serangan sesak nafas pada pasien dengan riwayat asma.

Namun untuk meminimalisir efek samping obat, pilihlah obat yang lebih selektif pada target aksi tertentu. Menurut Zullies, obat tersebut akan membuat efek samping obat semakin kecil.

3 dari 4 halaman

Atasi Efek Samping Obat

Lebih lanjut Zullies mengungkapkan, tidak semua efek samping dari obat membutuhkan penanganan lebih lanjut. Seperti mengantuk, beberapa pasien justru memanfaatkan efek samping tersebut untuk beristirahat.

"Efek samping meningkatkan nafsu makan malah kadang dimanfaatkan untuk memicu nafsu makan anak yang enggak doyan makan. Tapi efek samping yang mengganggu seperti mual bahkan sampai muntah pada pasien kemoterapi misalnya, mau tak mau harus dicegah atau diatasi dengan obat anti mual," kata Zullies.

"Karena kemoterapinya itu sendiri juga tak mungkin dihentikan sebelum waktunya, dan jika efek samping suatu obat bisa mengancam jiwa, tentu obatnya harus dihentikan dan dicarikan alternatifnya yang lebih kecil efek sampingnya," tambahnya.

Zullies menjelaskan, untuk mengetahui lebih lanjut soal efek samping obat, maka Anda bisa membacanya dalam kemasan. Beberapa obat yang dijual bebas pun secara terang-terangan memberitahu soal efek samping yang mungkin muncul.

4 dari 4 halaman

Cocok-Cocokan Minum Obat

Dalam kesempatan berbeda, Zullies juga sempat membahas efek obat yang cocok-cocokan pada tubuh manusia. Hal tersebut ternyata dapat disebabkan oleh adanya faktor lingkungan dan faktor genetik.

Faktor lingkungan sendiri meliputi faktor nutrisi, faktor obat-obatan lain yang sedang dikonsumsi bersama, faktor penyakit yang dimiliki, dan faktor gaya hidup seperti merokok atau konsumsi alkohol.

"Faktor ini (lingkungan) berinteraksi dengan faktor genetik yang mengkode berbagai protein penentu nasib obat dalam badan dan efek obat. Seperti reseptor, kanal ion, dan enzim pemetabolisme obat," ujar Zullies.

"Jadi, respons obat seseorang bisa dipengaruhi oleh faktor nutrisi atau diet pasien. Katakanlah seorang penderita hipertensi yang mestinya diet garam, jika ia tidak disiplin terhadap asupan garam, tentu efek obat tidak akan nyata terlihat," tambahnya.

Zullie menambahkan, kondisi tersebut akan berbeda dengan pasien hipertensi yang memang menjaga asupan garamnya. Obat dianggap dapat lebih bekerja efektif lantaran pasien sudah menjaga lewat asupannya.