Sukses

Ditolak MK, Kemenkes Bakal Tetap Teliti Ganja untuk Medis

Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan bakal melakukan penelitian terkait ganja untuk medis. Ganja ini harus diteliti supaya ada bukti medis apakah bisa dipakai untuk alasan medis atau tidak

Liputan6.com, Cibinong Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 20 Juli 2022 menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permohonan berkaitan dengan penggunaan narkotika jenis ganja untuk kepentingan kesehatan atau medis.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim MK Anwar Usman dalam putusannya.

Terkait hal itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan RI sudah berdiskusi dengan kementerian lain bakal melakukan penelitian tentang manfaat ganja untuk kesehatan terlebih dahulu. Sebab, di bidang kesehatan, semuanya harus berbasis bukti dan ilmiah.

Budi mencontohkan penggunaan narkotika jenis morfin untuk medis. Sebelum diberi izin untuk penggunaan medis, 'aturan main' terkait penggunaannya sudah diatur sedemikian rupa dan ketat.

"Morfin kan juga narkotika, tapi sekarang dipakai kalau misalnya ada orang sakit, orang lagi luka, ada bencana, ada perang, semua orang disuntik morfin tapi sudah diukur," kata Budi kepada Health Liputan6.com di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 21 Juli 2022.

"Morfinnya segini, diberikan ke orang ini, enggak boleh dijual bebas ke mana-mana, itu dibikin sistemnya," lanjut Budi.

Begitu pun dengan ganja, jadi, ganja ini harus diteliti supaya ada bukti medis apakah bisa dipakai untuk alasan medis atau tidak, dipakaikannya ke siapa, dosisnya berapa banyak, dan lain sebagainya.

"Nah, yang mau kita bikin adalah izin untuk penelitian itu," kata Budi.

"Bukan izin pemakaian ya, tapi izin untuk melakukan penelitian. Dari hasil penelitian, baru nanti diketahui bagaimana-bagaimananya," pungkas Budi.

2 dari 3 halaman

Alasan Penolakan MK

MK berpendapat, jenis narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan dan atau terapi belum dapat terbukti telah dilakukan pengkajian dan penelitian bersifat komprehensif dan mendalam secara ilmiah.

"Dengan belum ada bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif, maka keinginan para pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis," kata Hakim MK Suhartoyo.

Sementara itu, berkenaan dengan fakta fakta hukum dalam persidangan yang menegaskan bahwa beberapa negara telah secara sah menurut undang-undangnya memperbolehkan pemanfaatan narkotika secara ilegal, hal tersebut tidak serta merta dapat digeneralisasi bahwa negara negara yang belum atau tidak melegalkan pemanfaatan narkotikan secara bebas kemudian dapat dikatakan tidak mengoptimalkan manfaat narkotika dimaksud.

Perkara ini diputus Anwar Usman selaku hakim konstitusi merangkap anggota, kemudian Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmikh, Foekh, Wahiduddin Adams, Arief Hidayay, Saldi Isra, dan Manahan Sitompul.

Perkara ini digugat oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).

3 dari 3 halaman

Indonesia Belum Siap

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyatakan, pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara. Antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, hingga Thailand.

Namun, fakta hukum tersebut tidak serta-merta bisa dijadikan parameter bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara.

“Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda baik jenis, bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan.”

Untuk negara Indonesia, diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu.

Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan. Khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia.