Liputan6.com, Jakarta Belum lama ini obat COVID-19 Paxlovid mengantongi izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Meski begitu, ahli epidemiologi Dicky Budiman mengingatkan bahwa diizinkannya penggunaan obat COVID-19 ini bukan berarti pandemi dan masalah selesai.
Baca Juga
“Dengan diizinkannya terapi Paxlovid oleh BPOM, bukan berarti pandemi selesai dan masalah selesai,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.
Advertisement
Ia menambahkan, vaksinasi tetap menjadi salah satu hal penting dan menjadi dasar utama untuk membangun proteksi tubuh selain masker dan protokol kesehatan lainnya.
“Satu-satunya cara pasti untuk bertahan dalam situasi pandemi COVID bukanlah dengan terinfeksi COVID (untuk dapat kekebalan ekstra) tapi dengan cara vaksinasi 3 dosis, masker, jaga jarak, dan perbaikan kualitas udara.”
Di sisi lain, Paxlovid sendiri memiliki kelemahan-kelemahan yang belum bisa dipastikan. Salah satunya potensi gejala kembali muncul setelah 2 minggu terapi. Paxlovid sendiri terapinya 5 hari, satu hari 2 kali minum dengan 3 tablet setiap minum. Totalnya 30 tablet harus diminum selama terapi. Terapi Paxlovid semakin tak mudah lantaran rasanya yang tidak enak dan cenderung seperti rasa logam.
“Ini tidak mudah karena rasa dari obat ini kayak logam yang tidak disukai pasien.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Riset Belum 100 Persen
Salah satu perkara yang sedang diperbincangkan para klinisi termasuk di Australia terkait Paxlovid adalah efek kembalinya gejala setelah dua minggu pengobatan.
“Sekali lagi ini obat yang relatif baru masih dalam riset dan beberapa aspek risetnya belum tuntas. Ini yang membuat penggunaannya harus selektif, obat ini terbukti dapat mencegah keparahan dan kematian sehingga berikan obat ini pada kelompok yang berisiko tinggi.”
Di beberapa negara, obat ini umumnya diberikan kepada lanjut usia atau penduduk di atas usia 65 ketika terinfeksi. Termasuk juga pada orang dengan komorbid yang tidak memiliki gangguan ginjal dan liver.
Dicky berharap penggunaan Paxlovid di Indonesia dapat disertai dengan timbal balik dari para penggunanya. Ini penting sebagai bahan evaluasi terhadap obat tersebut lantaran risetnya belum 100 persen.
“Terbukti aman dan efektifnya sudah, tapi kita tetap harus membangun (pengetahuan soal Paxlovid).”
Sebelumnya ia menyampaikan bahwa Paxlovid memiliki efektivitas hingga 89 persen dalam menurunkan risiko sakit parah pada pasien COVID-19. Hal ini sudah dibuktikan oleh riset dan uji klinik.
Advertisement
Syarat Efektivitas Paxlovid
Meski efektivitasnya mencapai 89 persen, tapi angka tersebut bisa dicapai jika syarat penggunaannya dipenuhi.
“Efektivitasnya akan terbangun seperti hasil riset (89 persen) kalau dikonsumsi di lima hari pertama atau kurang dari 5 hari sejak terinfeksi COVID. Jadi isunya di sini adalah deteksi dini. Dan bicara deteksi dini di Indonesia itu masih PR besar,” ujar Dicky.
Karena, lanjut Dicky, deteksi dini mencakup literasi, testing, dan tracing untuk menemukan kasus-kasus baru dengan cepat. Sedangkan, Paxlovid jika diberikan lebih dari lima hari setelah infeksi maka sudah tidak terlalu efektif. Artinya, pasien tetap bisa mengalami gejala parah atau bahkan meninggal.
Dicky juga menyampaikan beberapa keterbatasan Paxlovid lainnya. Dari sisi harga, obat ini terbilang mahal dan jumlahnya terbatas.
“Selain itu, dalam konsumsinya juga ini kan obat yang masih dalam uji investigasi khususnya pada pasien yang sudah divaksinasi, bagaimana dampaknya, bagaimana efeknya, efek sampingnya juga masih dalam uji.”
Penggunaannya Perlu Dibatasi
Jadi, imbuh Dicky, pemberian Paxlovid ini harus betul-betul diprioritaskan pada kelompok atau orang yang memang berisiko tinggi mengalami gejala parah maupun kematian.
Kelompok risiko tinggi seperti lanjut usia (lansia) dan komorbid menjadi kelompok yang harus dilindungi, selain dengan vaksinasi juga dengan Paxlovid. Dengan kata lain, penggunaan Paxlovid harus sangat dibatasi hanya pada kelompok tersebut.
“Karena, jika ini digunakan secara umum dan tidak terkendali, dampak bahaya lain dari penggunaan Paxlovid ini adalah adanya resistensi, adanya varian subvarian yang resisten terhadap Paxlovid ini.”
Jika virus resisten terhadap obat ini maka akan merugikan. Pasalnya, orang yang tadinya bisa dicegah kematiannya atau keparahannya menjadi tidak bisa karena virusnya sudah resisten atau memiliki ketahanan terhadap obat.
Paxlovid sendiri merupakan obat berbentuk tablet yang dikembangkan dan diproduksi oleh Pfizer. Sebelumnya, BPOM juga telah menerbitkan EUA untuk obat antivirus Favipiravir, Remdesivir, antibodi monoklonal Regdavimab, dan Molnupiravir.
Advertisement