Sukses

Tak Ambil Pelajaran dari Bolak-baliknya Gelombang COVID-19 Bisa Picu Krisis Berkelanjutan

Ahli epidemiologi sekaligus peneliti global security Dicky Budiman menyampaikan bahwa jika Indonesia bolak-balik menghadapi beragam gelombang COVID-19 tanpa mengambil pelajaran maka bisa timbul krisis berkelanjutan.

Liputan6.com, Jakarta Ahli epidemiologi sekaligus peneliti global security Dicky Budiman menyampaikan bahwa jika Indonesia bolak-balik menghadapi beragam gelombang COVID-19 tanpa mengambil pelajaran maka bisa timbul krisis berkelanjutan.

“Kalau kita tidak mengambil pelajaran, tidak mengubah perilaku, dan menganggap ini adalah sesuatu yang akan berlalu begitu saja, itulah yang akan menimbulkan krisis berkelanjutan,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara Kamis (21/7/2022).

Krisis yang dimaksud bukan berhenti di masalah pandemi atau penyakitnya, tapi akan terjadi kerusakan yang berkelanjutan dan tersebar di banyak sektor.

“Dan ini yang akan membuat dunia mengalami krisis. Krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik. Tidak main-main, dan itu yang dikhawatirkan oleh para peneliti global security dan inilah yang sebetulnya saat ini sedang dihadapi dunia.”

“Banyak negara di sebagian besar dunia tidak mengambil pelajaran dari situasi ini. Sehingga yang tadinya masa krisis ini sudah di ambang akhir, mundur lagi, walaupun tidak mundur jauh ke belakang. Namun, ini membuat ketahanan nasional atau berbagai bangsa terancam.”

Setiap negara memiliki kemampuan yang berbeda dalam bertahan di situasi krisis dan ini dampaknya sangat serius. Ini bukan hal yang baru di dunia, yang namanya dampak pandemi bisa menyebabkan runtuhnya suatu pemerintahan, lanjutnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Akibat Penanganan Tidak Konsisten

“Pandemi bahkan bisa menyebabkan evolusi budaya dan lain sebagainya, bisa juga menyebabkan krisis ekonomi yang berdampak secara berkelanjutan.”

Untuk itu, dalam penanganan pandemi, yang dilihat bukan hanya tujuan jangka pendek tapi juga jangka panjang.

“Inilah hal yang betul-betul harus diperhatikan, disadari dan dibangun literasinya di semua sektor. Bukan hanya masyarakat, pemerintah juga belum memahami, saya melihat banyak pemerintahan yang belum melihat aspek keseriusan.”

“Ini terbukti dari naik turunnya respons kita, tidak konsisten, bahkan kadang cenderung terlalu optimis. Nah ini yang membuat pandemi menjadi endemi atau epidemi kemungkinannya ada tapi kapannya itu enggak dalam waktu dekat, masih lama.”

Hal ini pula yang membuat Dicky selalu mengingatkan bahwa COVID-19 belum usai. Terutama ketika ada hal-hal baru terkait penanganan wabah seperti obat antivirus.

Misalnya, belum lama ini obat COVID-19 Paxlovid mengantongi izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

3 dari 4 halaman

Bukan Berarti Pandemi Usai

Meski begitu, Dicky mengingatkan bahwa diizinkannya penggunaan obat COVID-19 ini bukan berarti pandemi dan masalah selesai.

“Dengan diizinkannya terapi Paxlovid oleh BPOM, bukan berarti pandemi selesai dan masalah selesai,” kata Dicky.

Ia menambahkan, vaksinasi tetap menjadi salah satu hal penting dan menjadi dasar utama untuk membangun proteksi tubuh selain masker dan protokol kesehatan lainnya.

“Satu-satunya cara pasti untuk bertahan dalam situasi pandemi COVID bukanlah dengan terinfeksi COVID (untuk dapat kekebalan ekstra) tapi dengan cara vaksinasi 3 dosis, masker, jaga jarak, dan perbaikan kualitas udara.”

Di sisi lain, Paxlovid sendiri memiliki kelemahan-kelemahan yang belum bisa dipastikan. Salah satunya potensi gejala kembali muncul setelah 2 minggu terapi. Paxlovid sendiri terapinya 5 hari, satu hari 2 kali minum dengan 3 tablet setiap minum. Totalnya 30 tablet harus diminum selama terapi. Terapi Paxlovid semakin tak mudah lantaran rasanya yang tidak enak dan cenderung seperti rasa logam.

“Ini tidak mudah karena rasa dari obat ini kayak logam yang tidak disukai pasien.”

4 dari 4 halaman

Masih dalam Riset

Salah satu perkara yang sedang diperbincangkan para klinisi termasuk di Australia terkait Paxlovid adalah efek kembalinya gejala setelah dua minggu pengobatan atau rebound.

“Sekali lagi ini obat yang relatif baru masih dalam riset dan beberapa aspek risetnya belum tuntas. Ini yang membuat penggunaannya harus selektif, obat ini terbukti dapat mencegah keparahan dan kematian sehingga berikan obat ini pada kelompok yang berisiko tinggi.”

Di beberapa negara, obat ini umumnya diberikan kepada lanjut usia atau penduduk di atas usia 65 ketika terinfeksi. Termasuk juga pada orang dengan komorbid yang tidak memiliki gangguan ginjal dan liver.

Dicky berharap penggunaan Paxlovid di Indonesia dapat disertai dengan timbal balik dari para penggunanya. Ini penting sebagai bahan evaluasi terhadap obat tersebut lantaran risetnya belum 100 persen.

“Terbukti aman dan efektifnya sudah, tapi kita tetap harus membangun (pengetahuan soal Paxlovid).”

Sebelumnya ia menyampaikan bahwa Paxlovid memiliki efektivitas hingga 89 persen dalam menurunkan risiko sakit parah pada pasien COVID-19. Hal ini sudah dibuktikan oleh riset dan uji klinik.