Liputan6.com, Bandung Pada Hari Anak Nasional (HAN) 2022, mari belajar pada kasus perundungan atau bullying pada siswa SD di Tasikmalaya yang berusia 11 tahun. Bocah tersebut meninggal tak lama usai mendapatkan perundungan dari kawan sepermainannya.
Menurut keterangan pihak rumah sakit, siswa tersebut didiagnosis suspek depresi yang menyebabkan neuropati serta komplikasi typhoid yang menyerang otak.
Baca Juga
Kasus ini sempat menjadi perbincangan ramai di platform Twitter selama beberapa jam di pagi hari pada, Jumat, 22 Juli 2022 dengan kata kunci 'anak SD'.
Advertisement
"Hasil pemindaian linimasa itu memperlihatkan kecenderungan umum netizen yang mengecam perundungan, bahkan sejumlah pejabat tinggi pun ikut berkomentar sama," ujar Nursyawal, Dosen Komunikasi Stikom Bandung, ditulis Sabtu, 23 Juli 2022.
Selain itu lanjut Nursyawal, juga nampak sikap kebanyakan netizen memandang satu-satunya yang bersalah adalah pelaku perundungan.
Alhasil, mereka meminta pihak penegak hukum memberikan hukuman yang setinggi-tingginya tanpa ampun serta meminta penegak hukum mengabaikan kenyataan bahwa pelaku adalah anak-anak.
Nursyawal mengatakan setiap orang tua dipastikan kaget ketika mendapatkan kabar bahwa almarhum sebelumnya dirundung sedemikian rupa dan dipermalukan melalui penyebaran video rekaman perundungan ke media sosial.
Akibatnya almarhum selama seminggu mengurung diri di rumah, tidak mau makan dan minum, sebelum akhirnya hilang kesadaran dan dilarikan ke rumah sakit lalu meninggal.
Disebutkan pula, selama sekolah, almarhum kerap dirundung teman-teman sebaya karena mengalami keterlambatan dalam belajar serta fisik yang lemah.
“Dari fakta-fakta yang ada, sebetulnya pihak yang harusnya dimintai pertanggungjawaban adalah orang dewasa di sekitar anak-anak tersebut," ucap Nursyawal.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Anak Berperilaku Melalui Proses Melihat dan Meniru
Nursyawal menerangkan berdasarkan teori, anak-anak berperilaku melalui proses melihat dan meniru dari lingkungan sekitarnya.
Kecenderungan perilaku anak- anak dipengaruhi lingkungan di sekitarnya. Termasuk oleh media.
"Sehingga sikap yang seharusnya diperlihatkan oleh netizen adalah meminta pertanggungjawaban dari orang dewasa dan bukan menghakimi anak-anak yang masih dalam masa belajar membangun kepribadiannya”, ucap Nursyawal.
Menghakimi anak sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab, akan mengaburkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak, tukas Nursyawal.
Sebab kasus di Tasikmalaya itu, bukan kasus pertama. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama tahun 2021 terdapat 2.982 kasus kekerasan terhadap anak.
Sebanyak 1.138 di antaranya adalah kasus kekerasan fisik dan 1.204 terkait kejahatan seksual atas anak.
"Melihat data ini, sudah nampak jelas, betapa memprihatinkannya kualitas tanggung jawab orang dewasa di Indonesia dalam melindungi anak," sebut Nursyawal.
Akar masalah dari tingginya kasus kekerasan terhadap anak adalah masyarakat yang belum menempatkan perlindungan anak sebagai hal penting.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Media Punya Peran
Pengelola media pun ikut bertanggung jawab. Ada banyak kasus yang memperlihatkan isi media juga mendorong kekerasan terhadap anak atau memelihara sikap atau budaya yang tidak melindungi anak.
Padahal berdasarkan hukum, pengelola media juga wajib melindungi anak dalam proses produksi maupun isi medianya.
"Untuk itu, tema peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2022 ini, 'anak terlindungi, negara maju', relevan adanya," ungkap Nursyawal.