Sukses

Kelahiran Prematur Picu Terjadinya 32,5 Persen Kasus Stunting

Dokter anak konsultan neonatologi Rinawati Rohsiswatmo menjelaskan bayi lahir prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah dapat menyumbang penambahan kasus stunting di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Dokter anak konsultan neonatologi Rinawati Rohsiswatmo menjelaskan bayi lahir prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dapat menyumbang penambahan kasus stunting di Indonesia.

Penelitian di 137 negara berkembang menemukan bahwa 32,5 persen kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur.

“Bayi prematur yang lahir sebelum waktunya di dalam kandungan juga sudah masalah dengan gizinya, enggak tumbuh, Ini kalau tidak ditangani dengan benar maka dia potensial menjadi penyumbang stunting terbesar,” ujar Rina dalam seminar daring Fresenius Kabi, Senin (25/7/2022).

Sementara, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, bayi dengan berat lahir rendah memengaruhi sekitar 20 persen dari terjadinya stunting di Indonesia.

Sebelumnya, ia menjelaskan definisi bayi prematur dan BBLR. Bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum waktunya.

“Jadi kita bicara dengan usia kehamilan, bukan beratnya. Namanya juga lahir belum waktunya, umumnya saat lahir bayinya kecil,” jelas Rina.

Bayi prematur berbeda dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), lanjutnya. BBLR adalah bayi yang lahir kecil padahal sudah cukup bulan. Bayi berat lahir rendah belum tentu kurang bulan atau prematur.

Bayi disebut memiliki berat lahir rendah ketika berat badannya kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia gestasi (kehamilan). Sedangkan, bayi disebut prematur ketika lahir dengan usia gestasi di bawah 37 minggu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Kategori Prematur dan BBLR

Bayi prematur memiliki beberapa kategori sesuai usia kehamilan. Yang paling cepat adalah 22 minggu dan yang normal adalah 39-40 minggu. Ada pula kategori sebagai berikut:

-Extremely Preterm 28 minggu.

-Very Preterm 29-31 minggu.

-Moderately Preterm 32-34 minggu.

-Late Preterm 35-36 minggu.

Sedangkan, kategori BBLR yakni:

-Berat lahir rendah kurang dari 2.500 gram.

-Berat lahir sangat rendah kurang dari 1.500 gram.

-Berat lahir ekstrem rendah kurang dari 1.000 gram.

“Indonesia itu banyak enggak sih kelahiran prematur? Banyak, Indonesia itu nomor 5 (terbanyak) di dunia.”

Dokter yang akrab disapa Rina juga menyampaikan data prevalensi bayi prematur pada 2018. Menurut data dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi bayi prematur adalah 29,5 persen.

Sedangkan, prevalensi BBLR adalah 6,2 persen pada 2018, 3,4 persen pada 2019, dan 3,1 persen pada 2020.

“BBLR memang angkanya semakin lama semakin turun. Seiring dengan perbaikan gizi dan perbaikan kesehatan ibu.”

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Terkait Stunting

Sedangkan terkait stunting, Rina mengatakan bahwa stunting adalah stuned atau perawakan pendek yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik dan biasanya diawali dengan penurunan berat badan (weight foltering).

Perawakan pendek disebabkan kekurangan nutrisi jangka panjang atau infeksi berulang biasanya diawali dengan gagal tumbuh dan kenaikan berat badan tidak sesuai.

Kasus stunting 20 persennya terjadi sejak anak dalam kandungan. Selebihnya, terjadi setelah anak dilahirkan dengan rincian sebagai berikut:

-Terjadi dalam 6 bulan pertama 20 persen.

-Terjadi dalam 6-24 bulan kehidupan 50 persen.

-Terjadi pada tahun ketiga 10 persen.

Sebelumnya di kesempatan berbeda Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, SP. OG. (K) menyampaikan bahwa faktor-faktor yang meningkatkan risiko bayi lahir stunting sudah sangat jelas.

Maka dari itu, untuk menurunkan angka bayi lahir stunting salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menghindari faktor-faktor risikonya. Salah satunya dengan memastikan bahwa kondisi tubuh sebelum memiliki keturunan prima dan bebas dari anemia.

4 dari 4 halaman

Faktor Risiko Stunting

Beberapa faktor risiko yang dapat dilihat adalah:

-Lebih dari 33 persen remaja yang hendak menikah mengalami anemia dan undernutrition.

-Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 48 persen ibu hamil mengalami anemia.

-Bayi lahir kurang dari 48 cm sebanyak 22,6 persen.

-Kelahiran prematur, 29,5 persen.

-Berat badan lahir kurang dari 2,5 kilo 11,7 persen.

“Sebenarnya angka-angka ini menunjukkan lokus-lokus yang bisa di-treatment,” kata Hasto dalam seminar daring BKKBN Selasa (16/11/2021).

Hasto menambahkan, jika dalam satu tahun terjadi dua juta pernikahan di Indonesia dan dari dua juta pernikahan itu sekitar 1,6 juta melahirkan di tahun pertama, ada kemungkinan bayi lahir stunting sebanyak 400 ribu.

Maka, untuk menghadang terjadinya 400 ribu kelahiran bayi dalam kondisi stunting, upaya pencegahan perlu dilakukan sebelum terjadinya dua juta pernikahan.

Sebelum menikah, 2 juta orang calon ibu perlu diskrining dan diberi konseling. Mulai dari periksa hemoglobin (Hb), lingkar lengan atas, tinggi badan, dan berat badan.

“Tentukan pula apa calon ibu itu undernutrition atau tidak, apa dia anemia atau tidak,” ujarnya.