Liputan6.com, Jakarta Hubungan tidak sehat atau beracun yang sering disebut toxic relationship bisa terjadi dalam ranah keluarga. Biasanya, toxic relationship dalam keluarga dapat muncul lantaran adanya masalah yang tidak terselesaikan dengan baik.
Masalah tersebut kemudian dapat menumpuk seiring berjalannya waktu dan dapat menjadi bom di kemudian hari dalam keluarga.Â
Baca Juga
Buntut dari permasalahan yang tak kunjung usai tersebut akhirnya dapat menyebabkan terjadinya disfungsi dalam keluarga, yang mana sangat erat kaitannya dengan toxic relationship.
Advertisement
Keluarga disfungsional (dysfunctional family) sendiri merupakan kondisi dimana konflik, perilaku yang menyimpang pada anggota keluarga terjadi secara terus-menerus dan merugikan anggota lain dari tindakan tersebut.
"Keluarga disfungsional adalah keluarga yang tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya, dapat diartikan dengan adanya pertentangan antara individu dalam keluarga yang menyebabkan hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis," ujar psikolog Center for Public Health, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurul Kusuma Hidayati mengutip laman resmi UGM pada Rabu, (27/7/2022).
Nurul mengungkapkan bahwa terdapat setidaknya lima masalah terbesar yang biasanya terjadi dalam keluarga. Lalu apa sajakah itu? Berikut diantaranya.
- Salah satu pihak merasa bertanggung jawab atas masalah yang ada di dalam keluarga, begitupun sebaliknya
- Berusaha keras untuk menghindari konflik dengan anggota keluarga
- Memiliki ide yang berbeda tentang cara terbaik untuk menyelesaikan masalah
- Beberapa perbedaan tersebut tidak pernah terselesaikan
- Memiliki perselisihan serius tentang masalah yang tidak penting
Pentingnya Bangun Relasi Positif Antar Anggota Keluarga
Lebih lanjut, seorang psikolog Wirdatul Anisa, M.Psi mengungkapkan bahwa untuk menghindari toxic relationship dalam keluarga, penting untuk membangun relasi positif antar anggota.
Hal tersebut lantaran membangun relasi positif dapat membuat keluarga dapat berfungsi dengan baik dan mengatasi krisis dengan cara yang baik pula. Sehingga nantinya juga bisa menghindari toxic relationship.
Menurut Wirda, membangun relasi positif dapat dilakukan dengan membangun ketangguhan pada keluarga dan membangun kekuatan komunitas. Enam hal yang dapat mendeskripsikan ketanggungan keluarga dapat tercermin lewat berbagai cara.
Pertama, memberikan apresiasi dan kasih sayang. Poin satu ini dapat dilakukan dengan memperhatikan satu sama lain antar anggota keluarga. Dengan begitu, Anda dan masing-masing anggota keluarga bisa membangun suasana yang bersahabat.
Penting pula untuk tidak lupa memberikan penghargaan atau penghormatan pada setiap anggota keluarga. Dengan begitu, masing-masing pihak dapat merasa terapresiasi.
Selanjutnya yang kedua adalah dengan memberlakukan cara komunikasi yang positif. Hal ini dapat diupayakan dengan memberikan apresiasi sekecil apapun itu. Seperti memberikan pujian dan ucapan terima kasih, misalnya.
Advertisement
Komunikasi Positif
Komunikasi yang positif pun bisa dilakukan lewat berbagi perasaan yang sedang dirasakan dan menahan diri untuk terus-menerus saling menyalahkan.
Ketiga, relasi positif antar keluarga bisa dibangun dengan adanya komitmen pada keluarga yang berkaitan dengan kepercayaan, kejujuran, bertanggung jawab dengan peran yang dimiliki, dan kesediaan untuk berbagi satu sama lain.
Tak berhenti di sana, poin keempat untuk membangun relasi positif antar keluarga dapat dilakukan dengan mengupayakan rasa kesejahteraan spiritual dan nilai-nilai bersama dalam keluarga.
Kelima, penting untuk memiliki waktu berkualitas bersama. Meski tak perlu setiap hari, namun menikmati waktu bersama anggota keluarga untuk saling berbagi kesenangan dianggap dapat membuat relasi yang positif antar satu sama lain.
Terakhir atau poin keenam adalah soal kemampuan untuk saling mengelola stres dan krisis yang sedang dialami secara efektif. Poin satu ini pun bisa dicapai dengan adanya keterbukaan pada setiap perubahan dan resiliensi.
Kelola Stres, Terbuka pada Perubahan
Wirda mengungkapkan bahwa jika sudah ada relasi yang bersifat negatif dalam keluarga, maka masing-masing pihak dapat memperbaikinya dengan pendekatan strategi resolusi konflik.
Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pola hubungan atau relasi yang ada di dalam keluarga. Apakah keluarga bersifat cenderung mempunyai kritik yang tinggi, demanding, tidak terdapat komunikasi, atau sebagainya.
Kedua, berkomunikasi dengan mengklarifikasi masalah yang relevan, berbagi pemikiran, dan berbicara tentang solusi.
"Dalam berkomunikasi kita juga membutuhkan strategi-strategi, misalnya dapat menuliskan pemikiran kita atau dapat memutuskan untuk melakukan percakapan pada waktu dan tempat tertentu. Kemudian, kita juga bisa menggunakan humor," ujar Wirda.
Lebih lanjut menurutnya, sikap yang diperlukan dalam penyelesaian konflik adalah jujur dan terbuka, menghargai dan menghormati, saling memaafkan, membantu satu sama lain, dan sabar terhadap prosesnya.
Namun jika konflik dalam keluarga tidak dapat diselesaikan, kita bisa menjangkau atau mencari bantuan pihak lain.
Advertisement