Liputan6.com, Jakarta - Varian Omicron disebut dalam sebuah penelitian kecil lebih gampang menginfeksi anak-anak melalui hidung daripada varian Virus Corona lainnya.
Di masa pandemi COVID-19, hidung anak-anak kurang ramah terhadap virus penyebab COVIDÂ dibandingkan hidung orang dewasa.
Baca Juga
Studi tentang SARS-CoV-2 dan beberapa variannya menemukan virus itu bertemu dengan respons imun yang lebih kuat di sel-sel yang melapisi hidung anak-anak daripada di sel-sel pelapis hidung orang dewasa, dan itu kurang efisien dalam membuat salinannya sendiri pada anak.
Advertisement
Peneliti baru-baru ini melakukan percobaan menggunakan tabung reaksi yang mencampur virus dengan sel hidung dari 23 anak sehat dan 15 orang dewasa sehat.
Hasilnya ditemukan bahwa pertahanan antivirus di hidung anak-anak 'sangat kurang menonjol dalam kasus Omicron'. Penemuan ini telah dipublikasikan ke dalam PLOS Biology pada Senin, 1 Agustus 2022.
Para peneliti juga melaporkan bahwa Omicron memproduksi dirinya sendiri lebih efisien dalam sel-sel lapisan hidung anak-anak dibandingkan Delta dan varian lainnya.
"Data ini konsisten dengan peningkatan jumlah infeksi pediatrik yang diamati selama gelombang Omicron," tulis para peneliti di dalam jurnal tersebut sambil menyerukan studi tambahan seperti dikutip dari situs Channel News Asia pada Rabu, 3 Agustus 2022.
Penelitian di atas adalah penelitian terbaru tentang COVID-19. Beberapa penelitian lain pun telah ditemukan tapi ada beberapa yang memerlukan studi tambahan guna menguatkan temuan dan sebagian lain belum disertifikasi oleh peer review.
Â
Hidung Kehilangan Kemampuan untuk Mencium pada Lansia yang Terinfeksi COVID-19
Sementara itu sebuah penelitian di Argentina menemukan bahwa tingkat keparahan disfungsi penciuman setelah terinfeksi Virus Corona mungkin menjadi prediktor yang lebih baik untuk gangguan kognitif jangka panjang daripada tingkat keparahan COVID-19 secara keseluruhan.
Dalam penelitiannya para pakar mempelajari sampel acak dari 766 orang di atas usia 60. Sekitar 90 persen di antaranya telah terinfeksi COVID-19.
Tes fisik, kognitif, dan neuropskiatri yang dilakukan tiga hingga enam bulan setelah terinfeksi menunjukkan beberapa tingkat gangguan memori pada dua pertiga peserta yang terinfeksi.
"Semakin banyak wawasan yang kita miliki tentang apa yang menyebabkan atau setidaknya memprediksi siapa yang akan mengalami dampak kognitif jangka panjang yang signifikan dari infeksi COVID-19, semakin baik bagi kita untuk dapat melacaknya dan mulai mengembangkan metode untuk mencegahnya," kata pemimpin studi, Gabriella Gonzalez-Aleman dari Pontificia Universidad Catolica Argentina di Buenos Aires.
Laporan ini dia sampaikan saat Konferensi Internasional Asosiasi Alzheimer 2022 pada Minggu, 31 Juli 2022, yang diadakan secara daring di San Diego.
Advertisement
Vaksin COVID-19 untuk Pekerja di Panti Jompo
Di negara bagian Amerika Serikat yang mengamanatkan vaksin COVID-19 untuk staf panti jompo, aturan tersebut mencapai efek yang diinginkan dan tidak menyebabkan pengunduran diri massal maupun kekurangan staf, hasil temuan sebuah penelitian.
Namun, di negara bagian tanpa mandat seperti itu, panti jompo memang mengalami kekurangan staf selama masa studi, para peneliti melaporkan pada Jumat, 29 Juli 2022, di Forum Kesehatan JAMA.
Data yang dikumpulkan dari pertengahan Juni hingga pertengahan November 2021 dari National Healthcare Safety Network menunjukkan bahwa di 12 negara bagian dengan mandat vaksin COVID-19, tingkat cakupan vaksinasi di kalangan staf berkisar antara 78,7 persen hingga 95,2 persen.
Â
Negara Tanpa Mandat Vaksinasi untuk Staf Panti Jompo
Negara-negara bagian tanpa mandat 'memiliki cakupan vaksinasi staf yang lebih rendah secara konsisten selama masa studi' dan 'tingkat kekurangan staf yang dilaporkan lebih tinggi selama masa studi', menurut laporan tersebut.
"Asosiasi mandat dengan cakupan vaksinasi yang lebih tinggi bertentangan dengan upaya sebelumnya untuk meningkatkan penyerapan vaksin COVID-19 di antara staf panti jompo melalui pendidikan, penjangkauan, dan insentif," kata para peneliti.
Mereka pun menambahkan data 'menunjukkan bahwa ketakutan akan kekurangan staf besar-besaran karena mandat vaksin mungkin tidak berdasar'.
Advertisement