Liputan6.com, Jakarta - Koordinator End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Indonesia Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. berpendapat bahwa kebijakan rokok yang ada saat ini cenderung parsial dan diskriminatif.
“Kenapa parsial? Karena hanya diatur dalam beberapa Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan menjual rokok kepada anak. Ada juga imbauan kebijakan dari industri rokok agar toko, warung, supermarket tidak menjual rokok kepada anak-anak,” ujar Ahmad dalam konferensi pers daring bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Kamis (4/8/2022).
Baca Juga
“Parahnya, ketika terjadi penjualan rokok pada anak, yang dapat sanksi itu malah kasir, Sales Promotion Girl (SPG), sedangkan industri rokoknya malah enggak kena sanksi. Padahal, menurut saya mereka gagal juga dalam menerapkan norma yang mereka buat secara parsial itu,” dia melanjutkan.
Advertisement
Rokok sebagai benda berbahaya bagi anak seharusnya dipastikan tidak dapat diakses oleh anak. Perlu ada kebijakan dan langkah-langkah yang sistemik, terukur, untuk memastikan warung, supermarket, toko daring, tidak menjual rokok pada anak-anak.
“Jadi bukan malah kasir dan SPG yang dipidana atau kena denda atas penjualan rokok pada anak.”
Beberapa kasus menunjukkan bahwa kasir dan SPG kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) lantaran menjual rokok kepada anak di bawah 18 tahun.
“Nah kok mereka yang kena PHK? Kan aneh ya, industri rokok-nya jadinya enak-enak saja dong dan tidak ada pertanggungjawaban.“
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Menyasar Orang di Lapisan Bawah
Hal itulah yang ia sebut sebagai peraturan yang tidak adil. Perspektifnya lebih pada orang yang menjual.
“Padahal, orang yang menjual itu di atasnya ada industri. Jadi industri ikut serta melakukan penjualan rokok pada anak. Atau gagal dalam mencegah SPG dan kasir ini untuk menjual rokok pada anak.”
“Kecuali memang secara personal SPG dan kasir menawarkan, tapi kan ini tidak.”
Ada pula kebijakan terkait jual rokok pada anak bisa kena denda. Aturan ini menitikberatkan kepada orang yang menjual, bukan kepada korporasi atau industrinya.
“Jadi kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta ini menurut saya aneh juga. Harusnya dibuat ‘denda 50 juta jika industri rokok menjual atau gagal mencegah penjualan rokok pada anak’ nah itu harusnya bunyi kebijakannya.”
“Bukan malah orang pada lapis bawah yang kena denda, tapi industri rokoknya tetap bisa mendistribusikan rokok tanpa harus kena denda. Menurut saya kebijakan yang ada diskriminatif dan tidak dipahami juga oleh Pemda DKI Jakarta.”
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Akses Rokok Mudah
Ahmad juga menjelaskan bahwa akses rokok memang mudah bagi anak-anak. Di Indonesia, anak-anak bisa dengan mudah mendapatkan rokok secara daring.
“Anak-anak mudah mendapatkan rokok secara online, jadi enggak perlu mereka ke toko-toko, ke warung, atau ke supermarket. Paling bebas dijualnya, bahkan tidak ada kode etik yang dibuat oleh platform yang menjual secara online,” kata Ahmad.
Platform jualan daring memang ada yang mencantumkan imbauan bahwa produk rokok hanya boleh dibeli oleh kelompok usia 18 ke atas. Namun, ada pula platform yang memberikan kemudahan akses dengan gratis ongkos kirim (ongkir).
Di sisi lain, untuk mengunduh aplikasi toko daring juga mudah. Siapapun bisa mengunduhnya di ponsel pintas masing-masing tanpa ada ketentuan, atau norma tertentu. Kemudahan akses aplikasi juga pada akhirnya perlu dipertimbangkan, kata Ahmad.
Mewakili ECPAT, Ahmad dan 41 organisasi pemerhati anak lainnya mendukung pemerintah untuk meningkatkan program dan aktivitas dengan mengikutsertakan anak dan remaja agar terhindar dari bahaya rokok.
Pernyataan Bersama
Organisasi-organisasi itu juga mendorong perlindungan anak-anak dan remaja dari paparan produk rokok melalui upaya pengendalian konsumsi rokok yang kuat dan berdampak, yaitu:
1. Dari sisi kebijakan fiskal, organisasi pemerhati anak mendorong kenaikan harga rokok sebagai upaya agar rokok tidak terjangkau oleh anak-anak dan remaja, melalui:
a. Cukai rokok yang harus secara konsisten dinaikkan setiap tahunnya (dengan rerata kenaikan cukai rokok sebesar 25 per tahun per tahun);
b. Penyederhanaan strata tarif cukai rokok untuk mencegah konsumen beralih ke harga rokok yang lebih murah;
c. Kenaikan cukai hasil tembakau selain untuk upaya pengendalian konsumsi rokok juga dapat menyejahterakan pekerja dan petani tembakau melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
2. Organisasi pemerhati anak juga mendukung kebijakan non fiskal untuk mendukung kebijakan fiskal, di antaranya:
a. Mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 agar perubahan regulasinya dapat lebih melindungi anak dari produk rokok;
b. Mendorong larangan penjualan rokok batangan/ketengan untuk efektivitas cukai rokok dan memperketat akses oleh anak-anak dan masyarakat pra-sejahtera;
c. Mendorong pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media, baik di luar ruang, dalam ruang, televisi, dan media digital, termasuk internet;
d. Mendorong perluasan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok; serta
e. Mengatur pengendalian rokok elektronik sebagaimana adanya regulasi untuk rokok konvensional.
“Kami percaya bahwa melindungi anak dan remaja dari dampak bahaya rokok serta menurunkan jumlah perokok anak dan remaja dapat meningkatkan kualitas generasi muda bangsa Indonesia,” mengutip pernyataan bersama 42 organisasi pemerhati anak Indonesia, Kamis (4/8/2022).
Advertisement