Liputan6.com, Jakarta - Unggahan video seorang ibu yang kecewa dan marah akibat rambut putranya yang berusia 7 tahun digunting paksa oleh guru di sekolah viral di media sosial.
Dalam video tersebut, terlihat foto-foto si anak dengan rambut hasil guntingan gurunya di sekolah. Anak yang tidak diketahui namanya tersebut kemudian demam selama tiga hari dan tidak ingin pergi ke sekolah lagi.
Baca Juga
"Dek tumpahkan semua rasa trauma itu sama mama. Jangan kamu ingat, jangan pula kamu jadikan dendam di masa depan. Jadi anak sholeh dan berhati luas, seluas samudra. Demi Allah mama ridho. Jadilah orang sukses dan berjiwa besar. Tidak meremehkan orang atau hal kecil," tulis Reva Juliany melalui akun @mompreneur yang diunggah di media sosial TikTok pada Minggu, 7 Agustus 2022.
Advertisement
Menurut keterangan Reva, tindakan memotong rambut anaknya secara paksa tanpa adanya pemberitahuan dengan jelas membuat dirinya sakit hati. Terlebih, putranya jatuh sakit akibat kejadian traumatis tersebut.Â
"Biasa pulang jam 15.00 pas kejadian jam 12.30 sudah pulang, dengan keadaan demam dan rambut berantakan. Ibu mana yang gak sakit hati. Pihak sekolah sudah minta maaf dan saya maafkan. Tapi apa saya salah kalo masih sakit hati? Melihat anak sakit karena trauma," ujar Reva.
"Anak yang setiap hari saya bangun mood-nya supaya happy pas di sekolah tiba-tiba digituin. Apa salah saya marah? Saya akan taat aturan jika sekolah melampirkan aturan-aturan secara lisan atau tertulis masalah rambut. Apa salahnya konfirm dulu. Kalau sudah begini bukan hanya anak, tp sy sebagai mamanya ikut sakit," tambahnya.
Pedulikan Mental Anak
Reva mengungkapkan bahwa saat ini kondisi putranya sudah kembali sehat, namun belum mau untuk kembali ke sekolah. Ia juga memutuskan putranya untuk pindah sekolah setelah kejadian tersebut.
"Sy gak fokus ke rambut, tp ke mental si anak," kata Reva.
Terkait hal tersebut, psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa kondisi fisik dan psikis memang dapat saling memengaruhi.
"Jika efek dari kondisi psikis (seperti peristiwa traumatis atau stres berat) sampai berimbas ke fisik, maka sakit fisik yang dimunculkan tersebut disebut dengan psikosomatis," ujar Efnie pada Health Liputan6.com, Selasa (9/8/2022).
"Beban psikis yang terlalu berat dan tidak bisa ditanggulangi oleh mental seseorang akan menimbulkan reaksi fisik dalam bentuk sakit. Sakit yang akan bisa dimunculkan oleh fisik bisa berbeda-beda, tergantung kondisi bawaan fisik masing-masing," tambahnya.
Namun menurut Efnie, sakit yang biasanya muncul akibat stres dapat berupa demam, diare, mual dan muntah, sakit kepala, hingga alergi.
Advertisement
Trauma pada Anak
Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa kondisi traumatis yang terjadi pada anak semasa kecil memang sebaiknya diselesaikan. Hal tersebut lantaran bila tidak selesai, maka anak mungkin akan membawa lukanya hingga dewasa.
"Kondisi traumatis masa kecil yang tidak diselesaikan akan merusak kesehatan mental anak, dan tentunya berimbas pada kehidupan di kemudian hari termasuk saat dewasa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak bahagia," ujar Efnie.
Efek psikis juga bisa muncul dalam bentuk yang beragam. Seperti gangguan kecemasan, self concept yang negatif, self esteem yang rendah, dan masih banyak lagi.
Sehingga menurut Efnie, cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan anak psikoterapi dengan tenaga profesional seperti psikolog. Namun di sisi lain, orangtua juga bisa memberikan dukungan sosial yang baik.
"Idealnya anak tersebut dibantu melalui psikoterapi yang dilakukan oleh ahli (profesional). Pihak keluarga dan orang-orang terdekat menjadi pihak yang selalu memberikan dukungan (social support) agar secara perlahan kondisi psikisnya bisa pulih kembali," kata Efnie.Â
Usai Kejadian Traumatis, Hindari Marah di Depan Anak
Efnie menjelaskan, trauma psikis yang dialami oleh anak dapat dipulihkan melalui psikoterapi yang dilakukan oleh ahli. Sedangkan sebagai orangtua, yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan dukungan.
"Orangtua hadir di dekat anak, mendengarkan, memberikan pelukan hangat agar anak merasa aman. Saat ini tidak bisa terlalu banyak kata-kata diungkapkan, karena saat masih trauma otak tidak terlalu merespons kata-kata," ujar Efnie.
Dalam kondisi tersebut, Efnie juga menyarankan agar orangtua menghindari marah atau mengomentari perlakuan yang diterima oleh anak di depan anaknya langsung. Hal tersebut dikarenakan emosi yang keluar dapat memperberat kondisi trauma yang dialami oleh anak.
"Sebaiknya orangtua juga menghindari marah atau mengomentari perlakuan yang diterima oleh anak saat di hadapan anak. Ini akan memperberat trauma sang anak," pungkasnya.
Advertisement