Liputan6.com, Jakarta Proses penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai belum memasukkan perspektif kesehatan dan gender.
Hal ini terlihat dari penemuan beberapa pasal dan ketentuan yang cenderung kontraproduktif dengan upaya peningkatan capaian kesehatan dan perlindungan kelompok rentan.
Baca Juga
Apakah Jalan Kaki Bisa Menghilangkan Lemak Perut? Coba Pola 6-6-6 dan Rasakan 7 Keuntungannya
5 Cara Mengonsumsi Alpukat untuk Menurunkan Kolesterol dan Mendapatkan 3 Manfaat untuk Jantung Anda
Hasil Piala AFF 2024 Timnas Indonesia vs Filipina: Dihukum Kartu Merah dan Penalti, Garuda Gagal ke Semifinal
Pertama, terkait risiko kontraproduktif terhadap peningkatan capaian kesehatan seksual dan reproduksi. Pasal 412 melarang orang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, dan menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak.
Advertisement
Sementara, dalam pasal 414 ayat 1 disebutkan hanya petugas berwenang atau relawan yang ditunjuk pejabat berwenang yang boleh melakukan promosi kesehatan seksual dan reproduksi dengan alasan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
Ketentuan ini menyulitkan anak dan remaja mendapatkan edukasi perihal kesehatan seksual dan reproduksi atau kespro yang utuh.
“Padahal, persoalan kesehatan reproduksi bersifat multidimensional, termasuk adanya keterbatasan tenaga dan layanan. Dalam masalah kehamilan remaja diperlukan bantuan banyak pihak untuk memberikan edukasi bagi anak dan remaja.”
“Selain itu, pendidikan kesehatan reproduksi dari teman sebaya juga terbukti efektif untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi,” ujar Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda dalam peluncuran dokumen kebijakan “Pentingnya Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Proses Penyusunan RKUHP” pada Jumat (19/8/2022).
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Risiko Meningkatkan Kerentanan Korban
Kedua, risiko meningkatnya kerentanan korban kekerasan seksual dan praktik perkawinan anak.
Pasal 415 tentang perzinahan dan pasal 416 mengenai kohabitasi berpotensi membuat korban kekerasan rentan dilaporkan atau diadukan. Ketentuan pasal 415, misalnya, menyatakan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan yang bukan suami atau istri bisa dipidana.
“Padahal data 129 lembaga layanan menunjukkan kasus pemerkosaan merupakan kekerasan seksual yang paling dominan terjadi di dalam ranah relasi personal (25 persen),” ujar Olivia.
Banyaknya kasus pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang dalam relasi personal/dekat berpotensi menempatkan korban pada posisi sulit dan rentan dilaporkan atau diadukan menggunakan pasal karet perzinahan dan kohabitasi RKUHP.
Selain itu, masih terdapat celah yang memungkinkan terjadinya praktik perkawinan anak akibat longgarnya ketentuan terkait dispensasi (pemberian izin kawin) yang dapat diajukan orangtua.
Di batang tubuh maupun pasal penjelas UU No. 16 Tahun 2019 mengenai perkawinan, dispensasi bisa diberikan “dengan alasan sangat mendesak”.
Namun, “alasan sangat mendesak” dalam UU No. 16 Tahun 2019 tidak dijelaskan secara rinci.
Ini ditunjukkan dengan maraknya praktik perkawinan anak pasca pengesahan revisi UU Perkawinan pada 2019 lalu dan pada masa pandemi. Dorongan orangtua serta timpangnya relasi kuasa antara orangtua dan anak dalam pengambilan keputusan terkait perkawinan menjadi faktor pendorong yang memungkinkan terjadinya pengajuan dispensasi.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Peningkatan Dispensasi Perkawinan
Data Komnas Perempuan (2022) menunjukkan angka dispensasi perkawinan anak yang dikabulkan pengadilan agama pada 2020 mencapai 64.211 pengajuan. Ini meningkat hampir 300 persen dari tahun sebelumnya (23.126 pengajuan dispensasi).
“Studi di berbagai negara yang mempidanakan perilaku seksual berisiko juga menunjukkan keputusan orangtua mengawinkan anaknya merupakan upaya yang sering diambil untuk menghindari stigma dan ancaman pidana,” ujar Olivia.
Belum lagi kriminalisasi perilaku seksual juga membuat remaja enggan mencari dan mengakses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi karena takut dituduh melakukan pelanggaran pidana.
Berdasarkan catatan di atas, CISDI mendesak pemerintah dan DPR untuk:
1. Menggunakan lensa kesehatan dan gender dalam perumusan RKUHP.
2. Melibatkan publik secara bermakna dan transparan dalam proses perumusan RKUHP.
3. Menghapus pasal 412 dan 414 mengenai alat kontrasepsi dan pasal 415-416 tentang perzinaan dan kohabitasi.
Berbagai Masalah dalam Proses Penyusunan
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah Pusat berencana untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) meski masih banyak pihak yang mendesak perbaikan pada 14 pasal bermasalah.
Kritik dalam proses juga mengiringi penyusunan, mulai dari minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam proses, terbatasnya akses publik terhadap naskah RKUHP hingga munculnya tendensi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri memuat peraturan mengenai tindak pidana yang berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum.
KUHP mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil dan menjadi landasan penegakkan hukum pidana di Indonesia. Kitab ini pada awalnya bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie) sejak tahun 1918 dan melalui beberapa revisi kemudian disahkan menjadi KUHP lewat UU No 1 tahun 1946.
Melihat kebutuhan untuk menyesuaikan dengan konteks pidana Indonesia, Pemerintah memutuskan untuk merevisi KUHP kembali dan memulai pembahasan rancangannya sejak 2015. CISDI menilai, RKUHP perlu juga memerhatikan perspektif kesehatan dan gender.
“Tidak diperhatikannya perspektif kesehatan dan gender berpotensi menyebabkan kerentanan baru bagi beberapa kelompok,” pungkas Olivia.
Advertisement