Liputan6.com, Jakarta - Pada era saat ini, kebiasaan untuk meluapkan berbagai perasaan di ranah publik secara daring jadi hal yang begitu mudah dijumpai. Tak sedikit orang yang merasa nyaman untuk mengeluarkan emosi positif maupun negatif pada platform media sosial. Â
Salah satunya yang menjadi viral dalam sepekan belakangan adalah GRUP MARAH MARAH. Seperti namanya, grup tersebut dikhususkan bagi para penggunanya untuk melampiaskan segala emosi di Facebook.
Baca Juga
Per Minggu 28 Agustus 2022, grup marah-marah ini sudah memiliki lebih dari 26 ribu anggota. Unggahan dalam laman Facebook itu masih terus aktif dan banyak interaksi terjalin antara tiap anggota di dalamnya.
Advertisement
"kuliah bikin enek puyeeeeeeeng," tulis salah satu akun dalam laman GRUP MARAH MARAH.
"COWOK M***DO B*****T KERJAANNYA CUMA MAIN EMEL, MINTAIN ROKOK, MINTAIN MAKAN, GUA CEWEK LU A*****G BUKAN EMAK LU," ujar pengguna lainnya yang diunggah pada Rabu, 24 Agustus 2022 lalu.
Tak berhenti di sana, masih banyak unggahan lainnya berisi keluhan, cerita kehidupan, hingga ucapan kasar yang menyebutkan nama-nama binatang dan alat kelamin.
Berkaitan dengan hal tersebut, Health Liputan6.com pun mencoba menggali lebih dalam terkait fenomena grup marah-marah dari perspektif psikologis. Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indrianie, tindakan marah-marah di media sosial dapat didorong oleh berbagai penyebab.
"Hal yang membuat seseorang nyaman untuk meluapkan marah di media sosial adalah karena mereka bisa melakukan itu, namun wujud keberadaan fisik mereka tidak bisa diamati oleh pihak lain," ujar Efnie melalui keterangan tertulis pada Minggu, (28/8/2022).Â
Merasa Bebas Tanpa Penghakiman
Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa fenomena marah-marah di media sosial juga bukan sekadar karena ingin mendapatkan perhatian atau keinginan untuk menjadi viral. Melainkan karena adanya perasaan bebas dari penghakiman (judgement).
Terlebih, siapapun di media sosial bisa menggunakan akun yang tidak diketahui identitas aslinya atau anonim. Seseorang akhirnya dapat merasa lebih leluasa untuk melakukan berbagai hal termasuk meluapkan emosi.
"Mereka bisa bebas melakukan itu, namun identitasnya pun terkadang tidak diketahui oleh orang lain karena menggunakan akun anonim atau akun yang disamarkan namanya," kata Efnie.
"Hal itulah yang membuat mereka secara psikologis merasa bebas dari judgement umum. Bukan karena sekadar mendapatkan perhatian atau barangkali menjadi viral," tambahnya.
Menurut Efnie, berbeda jika seseorang marah di dunia nyata yang mana Anda dapat menerima protes atau banyak orang lain yang berusaha untuk menghentikannya.
"Jika di dunia nyata, saat mereka meluapkan marah secara berlebihan tentunya akan banyak yang protes atau berusaha untuk menghentikannya," ujar Efnie.
Advertisement
Tindakan yang Sebenarnya Kurang Tepat
Efnie mengungkapkan bahwa tindakan untuk marah-marah di media sosial sebenarnya merupakan hal yang kurang tepat. Menurutnya, media sosial sebaiknya digunakan untuk terkoneksi dengan orang lain dalam suasana netral.
"Idealnya memang media sosial adalah wadah yang bisa membantu manusia untuk terkoneksi antara yang satu dengan yang lainnya dalam suasana yang netral. Sehingga marah-marah secara impulsif di media sosial sebenarnya kurang tepat," kata Efnie.
Di sisi lain, Efnie menjelaskan bahwa kebiasaan marah-marah tanpa menyelesaikan persoalan langsung dengan orang yang bersangkutan memang telah menjadi ciri khas dan kebiasaan pada masyarakat.
Kebanyakan orang ternyata memang lebih memilih untuk menyindir atau marah-marah dengan cara lain ketimbang menyelesaikan masalah secara langsung.
"Hal ini sudah terbentuk sejak dari zaman dahulu. Jika dulu sebelum ada media sosial maka sindiran ini diucapkan secara lisan. Sejak ada teknologi digital maka hal ini diluapkan melalui teknologi digital. Harapannya adalah agar pihak yang merasa tersindir bisa menyadari hal tersebut secara otomatis," ujar Efnie.Â
Cara Positif untuk Luapkan Emosi
Sehingga menurut Efnie, cara terbaik atau yang paling positif untuk meluapkan emosi adalah dengan mengalihkannya pada sebuah kegiatan positif. Salah satunya dengan berolahraga.
"Emosi negatif dalam bentuk marah itu berbentuk energi, dan energi ini idealnya di release dengan cara-cara yang positif. Salah satunya adalah release dalam bentuk energi mekanik seperti olahraga," kata Efnie.
"Lalu setelah dirasakan energi ketegangan tersebut mereda maka dilanjutkan dengan problem focused yaitu mencari langkah-langkah penyelesaian masalah," Efnie menjelaskan.
Efnie menambahkan, saat sedang emosi, seseorang sebaiknya menenangkan diri terlebih dahulu pada tempat yang tenang. Hal tersebut lantaran dapat membantu stimulasi fungsi kerja otak usai emosi yang meluap.
"Baiknya mengasingkan diri terlebih dahulu ke tempat yang sepi dan tenang agar bisa memberikan stimulasi ketenangan pada fungsi kerja otak," pungkasnya.Â
Advertisement